Jumat, 25 April 2008

PRODUCT LIABILITY SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF

PERLINDUNGAN KONSUMEN

Studi Kasus

Gugatan Perdata di PN Jakarta Selatan No: 211/Pdt.G/2004/PN.Jkt.Sel

Antara

Takasu Masaharu melawan The Coca Cola Company Indonesia

Author: Rahmat Setiabudi Sokonagoro, LL.B

(hak cipta dilindungi undang-undang)

I. Latar Belakang Masalah

Setelah diratifikasinya Agreement Establishing the World Trade Organization (WTO) dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994, maka lalu lintas produk barang dan jasa secara bebas dari suatu negara ke negara lainnya maupun sebaliknya mulai meningkat. Batas-batas negara menjadi kabur ditinjau dari sudut aktifitas ekonomi. Dengan demikian, terjadi interaksi antar pelaku ekonomi yang berbeda negara dan sistim hukumnya. Perdagangan bebas membawa konsekuensi antara lain produk barang dan jasa semakin beraneka ragam, baik produk ekspor maupun impor.

Sikap Indonesia menjadi anggota WTO memang tergolong cepat dan positif, namun hal ini kurang diimbangi dengan perangkat hukum ekonomi guna menyongsong era perdagangan bebas, kecuali sebatas memfasilitasi perusahaan-perusahaan swasta multinasional dalam bentuk paket undang-undang yang cenderung menguntungkan perusahaan asing tersebut. Sebaliknya sampai diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, para konsumen belum mendapatkan perlindungan hukum bila ia mengalami kerugian, cacat, atau bahkan kematian akibat mengkonsumsu produk yang cacat. Konsumen dalam hal ini adalah konsumen akhir, yaitu pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat bagi keperluan dirinya, keluarganya, atau orang lain, dan tidak untuk diperdagangkan atau diperjualbelikan kembali.[1] Persoalan menjadi semakin kompleks bagi konsumen, bila produk yang dikonsumsi berasal dari luar negeri. Bagaimana mekanisme penyelesaian serta hukum mana yang berlaku, masih belum mendapatkan kejelasan. Hal-hal yang menyangkut kepentingan hukum konsumen, belum banyak mendapatkan perhatian dalam tata hukum kita, apalagi peran konsumen dalam pembangunan ekonomi belum banyak memperoleh perhatian.

Permasalahan akibat liberalisasi perdagangan ini tampil di permukaan dalam bentuk pengaduan/komplain dari konsumen atas barang atau jasa yang dikonsumsinya. Dari sudut hukum belum jelas mekanisme penyelesaiannya. Tidak hanya itu, secara yuridis muncul pula permasalahan apabila peraturan perundang-undangan di Indonesia bertentangan dengan peraturan di negara lain.

Secara teoretis, dapat saja sengketa-sengketa tersebut diselesaikan, tetapi pada kenyataannya tidak mudah dilakukan karena berbagai sebab yang bersifat yuridis-politis-sosiologis. Pertama, karena tidak konsistennya badan peradilan kita atas putusan-putusannya. Seiring terjadinya perbedaan putusan-putusan peradilan dalam kasus-kasus yang serupa. Kedua, sebagian besar konsumen di Indonesia enggan berperkara di pengadilan, padahal konsumen tersebut sangat dirugikan oleh pengusaha. Keengganan ini bukan karena mereka tidak sadar hukum. Bahkan mereka lebih sadar hukum dibandingkan dengan sebagian besar dari para penegak hukumnya sendiri. Keengganan mereka sebelum diundangkannya Undang-Undang Perlindungan Konsumen lebih didasarkan pada 1) ketidakjelasan norma-norma perlindungan konsumen; 2) praktek peradilan kita yang tidak lagi sederhana, cepat, dan biaya ringan; 3) sikap menghindari konflik meskipun hak-haknya sebagai konsumen dilanggar pengusaha (permisif). Ketiga, tarik menarik berbagai kepentingan diantara para pelaku ekonomi yang bukan konsumen, yang memiliki akses kuat di berbagai bidang, termasuk akses kepada pengambil keputusan.

Dalam makalah ini, penulis ingin mengungkapkan permasalahan perlindungan konsumen, yang pernah penulis hadapi di dalam praktek yakni mengenai gugatan perdata antara Takasu Masaharu melawan PT. Coca-Cola Indonesia, PT. Coca Cola Bottling Indonesia, dan PT. Coca-Cola Distribution Indonesia. Sebelum penulis menyampaikan analisis dalam makalah ini, perlu diketahui bahwa tulisan ini semata untuk kepentingan akademis, dan bukan sebagai salah satu bentuk pelanggaran terhadap etika profesi, karena dalam kasus ini, penulis berperan sebagai kuasa hukum dari pihak Tergugat.


II. Rumusan Masalah

Dalam makalah ini, penulis ingin menekankan pada beberapa masalah yaitu:

1. Bagaimanakah penegakan prinsip-prinsip perlindungan konsumen yang terakomodasi dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen?

2. Bagaimanakah tanggung jawab pengusaha terhadap adanya cacat produk (product liability)?

3. Apakah yang menjadi kelemahan konsumen dalam mengajukan gugatan kepada pengusaha dan bagaimana pertimbangan lembaga peradilan terhadap gugatan yang diajukan oleh konsumen yang dirugikan (studi kasus gugatan Takasu Masaharu melawan The Coca-Cola Company regional Indonesia)?

III. Pembahasan

III.1. Penegakan Prinsip-Prinsip Perlindungan Konsumen

The UN Guidelines for Consumer Protection yang diterima dengan suara bulat oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa, mengandung pemahaman umum dan luas mengenai perangkat perlindungan konsumen yang asasi dan adil. Satu hal yang diperjuangkan adalah struktur kelompok-kelompok konsumen yang independen, di mana dinyatakan dalam paragraf pertama bahwa pemerintah-pemerintah berbagai negara sepakat untuk memfasilitasi/mendukung pengembangan kelompok-kelompok konsumen. Hal ini merupakan kemajuan yang sangat berarti dalam bidang perlindungan konsumen.

Prinsip kebebasan merupakan karakteristik penting, baik bagi organisasi konsumen maupun kelompok konsumen. Mengenai karakteristik ini, terdapat enam (6) kualifikasi kebebasan yang harus dimiliki organisasi konsumen dan kelompok konsumen :

1. Mereka harus secara eksklusif mewakili kepentingan-kepentingan konsumen;

2. Kemajuan perdagangan akan tidak ada artinya jika diperoleh dengan cara-cara yang merugikan konsumen;

3. Mereka harus non-profit making dalam melakukan aktifitasnya;

4. Mereka tidak boleh menerima iklan-iklan untuk alasan-alasan komersial apapun dalam publikasi-publikasi mereka;

5. Mereka tidak boleh mengizinkan eksploitasi atas informasi dan advice yang mereka berikan kepada konsumen untuk kepentingan perdagangan;

6. Mereka tidak boleh mengijinkan kebebasan tindakan dan komentar mereka dipengaruhi atau dibatasi pesan-pesan sponsor.

Soal mewakili kepentingan konsumen, tidak jarang organisasi dalam hal ini YLKI diundang ke tempat produsen untuk mengetahui terjadinya proses produksi suatu komoditi tertentu. Selain itu, banyak pula pengalaman-pengalaman yang unik, yang cukup menggoda integritas dan ketidak berpihakan. Ungkapan yang hampir umum adalah adanya tawaran dari produsen untuk menyelesaikan pengaduan kopnsumen di kantornya. Di sinilah intergritas dan kebebasan seorang aktivis perlindungan konsumen diuji.

Pada tataran kebijakan (policy) ketika menangani pengaduan-pengaduan konsumen, oranisasi konsumen sering dihadapkan pada konstruksi perwakilan. Artinya organisasi konsumen seperti YLKI, bertindak mewakili kepentingan-kepentingan dan pandangan-pandangan konsumen dalam suatu kelembagaan yang dibentuk, baik atas prakarsa produsen dan asosiasinya ataupun prakarsa pemerintah.

PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk Divisi Regional VI pernah membentuk dewan pelanggan dimana keanggotaannya terdiri dari perwakilan YLKI dan pengguna telepon dari kalangan bisnis. Harus diakui memang dengana danya dewan pelanggan cukup membantu menyelesaikan pengaduan-pengaduan telepon dari konsumen. Namun tidak semua pelaku usaha (produsen) mengikuti langkah ini dengan membentuk customer board. Ini semua tergantung pada political will dari para produsen itu sendiri. Diakui atau tidak, tampaknya pembentuk UUPK belajar banyak dari pengalaman pembentukan dewan konsumen tersebut. Pasal 31 UUPK mengamanatkan dibentuknya Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN). Keanggotaan BPKN terdiri dari unsur-unsur pemerintah, pelaku usaha, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, akademisi, dan tenaga ahli.

III.2. Pertanggung jawaban pengusaha terhadap adanya cacat produksi (product liability)

Sebelum kita membahas mengenai pertanggung jawaban pengusaha, maka kita harus mengetahui terminologi dari product liability sendiri. Terminologi product liability masih tergolong baru dalam doktrin ilmu hukum di Indonesia. Ada yang menterjemahkannya sebagai tanggung gugat produk, dan ada pula yang menterjemahkannya sebagai tanggung jawab produk. Disini kita akan mempergunakan istilah asalnya tanpa mengurangi substansi atau maknanya.

“Product Liability: refers to the legal liability of manufactures and sellerts to compensate buyers, users , and even by standers, for damages or injuries suffered because of defects in good purchased”.[2]

Produktenaansprakelijkheid: tanggung jawab pemilik pabrik untuk barang-barang yang dihasilkannya, misalnya yang berhubungan dengan kesehatan pembeli, pemakai (konsumen) atau keamanan produk.[3]

Ius Constituendum diberikan batasan sebagai kaidah hukum yang dicita-citakan berlaku di suatu negara. Dalam pengertian ini, doktrin product liability diharapkan dapat dimasukkan dalam doktrin perbuatan melawan hukum (tort) sebagaimana diatur dalam pasal 1365 KUHPerdata. Pembatasan kajian dikemukakan pada kemungkinan penerapan doktrin tersebut dalam doktrin perbuatan melawan hukum sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban pengusaha/produsen atas produknya yang cacat kepada konsumen. Pendekatan yuridis-sosial-ekonomi terhadap kasus yang dikemukakan menunjukkan sangat pentingnya memasukkan doktrin tersebut dalam doktrin perbuatan melawan hukum. Ada tiga permasalahan yang menjadi pertanyaan besar tentang perlunya memasukkan doktrin ini, yakni:

a. Kemungkinan penerapan product liability dalam perbuatan melawan hukum;

b. Seberapa jauh tanggung jawab produsen kepada konsumen atas produk-produknya;

c. Era perdagangan bebas memerlukan norma-norma perlindungan konsumen.

Sesuai dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia, seorang konsumen bila dirugikan dalam mengkonsumsi barang atau jasa dapat menggugat pihak yang menimbulkan kerugian tersebut. Pihak itu disini bisa berarti produsen/pabrik, supplier, pedagang besar, pedagang eceran atau penjual maupun pihak yang memasarkan produk, bergantung dari siapa yang melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi konsumen, bahkan kematian pada konsumen. Kualifikasi gugatan yang lazim dipergunakan di berbagai negara termasuk di Indonesia adalah wanprestasi (default) ataupun perbuatan melawan hukum (tort).[4]

Apabila ada hubungan kontraktual antara konsumen dengan pengusaha atau perusahaan, maka kualifikasi gugatannya adalah wanprestasi. Kerugian yang dialami konsumen adalah karena tidak dilaksanakannya prestasi oleh pengusaha. Jadi, jika tidak ada hubungan kontraktual antara konsumen dengan pengusaha, maka tidak ada tanggung jawab hukum pengusaha kepada konsumen. Dalam ilmu hukum inilah yang disebut doktrin privity of contract. Di dalam doktrin ini, terkandung prinsip “tidak ada hubungan kontraktual, tidak ada tanggung jawab – no privity – no liability principle”.

Jika gugatan konsumen menggunakan kualifikasi perbuatan melawan hukum, hubungan kontraktual tidaklah disyaratkan. Dengan kualifikasi gugatan ini, konsumen sebagai penggugat harus membuktikan unsur-unsur:

a. Adanya perbuatan melawan hukum;

b. Adanya kesalahan atau kelalaian produsen;

c. Adanya kerugian yang dialami konsumen;

d. Adanya hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian yang dialami konsumen.

Jadi konsumen dihadapkan pada beban pembuktian berat karena harus membuktikan keempat unsur tersebut. Hal ini dirasakan tidak adil bagi konsumen dengan dasar beberapa pertimbangan. Pertama, secara sosial ekonomi, kedudukan konsumen lemah dibandingkan dengan kedudukan pengusaha/perusahaan, walaupun di mata hukum ada asas equality before the law. Dalam menghadapi gugatan konsumen, pengusaha lebih mudah mendapatkan pengacara untuk membela kepentingan-kepentingannya, termasuk dalam membuktikan dalil-dalilnya lewat keahlian para ahli dari berbagai bidang sesuai dengan produk yang dihasilkannya.

Bagi konsumen sulit membuktikan “unsur ada tidaknya kesalahan/kelalaian” produsen dalam proses produksi, distribusi, dan penjualan barang atau jasa yang telah dikonsumsi konsumen. Di dalam kasus yang akan dibahas nanti, yang dibuktikan adalah peristiwa peristiwa positif dan peristiwa-peristiwa negatif. Membuktikan peristiwa negatif lebih sukar dibanding membuktikan peristiwa positif. Contohnya dalam hubungan antara penjual dan pembeli, lebih mudah bagi pembeli untuk membuktikan bahwa ia sudah membayar daripada si penjual diminta membuktikan bahwa ia belum menerima pembayaran.

Dalam hubungan ini, apabila konsumen harus membuktikan adanya kelalaian atau kesalahan produsen dalam proses produksi, maka sangat tidak adil karena yang tahu proses produksinya adalah produsen yang bersangkutan. Karenanya pengusahalah yang harus membuktikan bahwa ia tidak lalai dalam proses produksinya. Untuk membuktikan unsur itu, tentunya harus ada kriteria berdasarkan ketentuan hukum administrasi negara tentang tata cara produksi yang baik yang dikeluarkan oleh instansi atau departemen yang berwenang.

Kedua, prinsip kesejajaran ekdudukan pengusaha dengan konsumen tidak dengan sendirinya membawa konsekuensi konsumen harus membuktikan semua unsur perbuatan melawan hukum. Oleh karena itu, terhadap doktrin perbuatan melawan hukum dalam perkara konsumen, seyogyanya dilakukan deregulasi dengan menerapkan doktrin produsc liability ke dalam doktrin perbuatan meawan hukum. Dalam sistim hukum perdata kita, masih terdapat pola hubungan tradisional antara penjual dengan pembeli. Artinya, terhadap produk cacat, penjuallah yang bertanggung jawab. Hal ini dapat dijumpai pada pasal 1504 KUHPerdata yang menegaskan bahwa penjual bertanggung jawab atas adanya cacat tersembunyi pada produk yang dijualnya.

Sedangkan unsur kelalaian atau kesalahan tidak menjadi kewajiban konsumen untuk membuktikannya. Sebaliknya hal ini menjadi kewajiban pengusaha untuk membuktikan ada tidaknya kelalaian/kesalahan padanya. Menurut doktrin product liability, tergugat dianggap telah bersalah (presumption of guilty) kecuali jika produsen mampu membuktikan bahwa ia tidak melakukan kelalaian/kesalahan. Seandainya ia gagal membuktikan ketidaklalaiannya, maka ia harus memikul resiko kerugian yang dialami pihak lain karena mengkonsumsi/menggunakan produknya. Salah satu contoh kasus yang terkait, yang berasal dari luar negeri adalah Kasus Snall dalam sebotol ginger beer (Donoghue vs. Stevenson). Mr. Donoghue ditraktir temannya minum sebotol ginger beer di restoran milik Minchella. Botol tersebut buram sehingga orang tidak dapat melihat apa yang ada di dalamnya. Minchella menuangkan sebagian ginger beer ke dalam gelas berisi es krim dan langsung diminum oleh Mr. Donoghue. Sisa ginger beer itu dituangkan oleh kawan Mrs. Donoghue ke dalam gelas lain yang tersedia dan kini dalam gelas tersebut terlihat keong (snail) dalam bentuk terpotong-potong. Perasaan jijik konsumen tersebut timbul dan ia menjadi shock dan menyebabkan gastro enteritis. Atas dasar gangguan kesehatan tubuh dan kejiwaannya, ia mengajukan gugatan ganti rugi terhadap terhadap Stevenson, produsen ginger beer tersebut. Pengadilan memutuskan bahwa Mrs Donoghue mempunyai alas hak untuk menggugat Stevenson meskipun tidak ada hubungan kontraktual. Pengadilan Inggris dalam pertimbangannya menyatakan “that the manufacturer owes a general duty to take care to the ultimate consumer” dan mengabulkan gugatan penggugat.

Adopsi product liability telah dilakukan di beberapa negara, sebagai contoh adalah Amerika dan Jepang. Jepang sebagai salah satu negara pesaing berat Amerika di bidang perdagangan, juga telah mengintroduksi product liability dalam sistim hukumnya. Parlemen Jepang telah menyetujui Product Liability Act 1994. Undang-undang ini lebih memungkinkan konsumen untuk menerima ganti rugi yang dialaminya akibat produk cacat/rusak. Konsumenn cukup membuktikan bahwa produk yang dikonsumsinya memang cacat dan mengakibatkan kerugian baginya. Sedang ada tidaknya kelalaian/kesalahan dalam proses produksi barang/jasa menjadi tanggung jawab pengusaha untuk membuktikannya. Namun di Asia sendiri baru Jepang yang mengadopsi product liability. Negara lain masih memegang teguh prinsip konsumen harus membuktikan kelalaian pengusaha.

III.3. Kelemahan konsumen dalam mengajukan gugatan kepada pengusaha dan pertimbangan badan peradilan dalam memutus sengketa tersebut.

Sebagaimana disebutkan diatas, bahwa penulis akan mengangkat satu kasus yang terjadi di Indonesia yang melibatkan produsen minuman terkemuka di dunia, yakni gugatan perdata antara Takasu Masaharu (Penggugat/P) melawan PT. Coca Cola Indonesia, PT. Coca Cola Bottling Indonesia, dan PT. Coca Cola Distribution Indonesia, yang disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Badan Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan RI selaku Turut Tergugat I dan Junaedi selaku Turut Tergugat II dibawah register perkara No: 211/Pdt.G/2004/PN.Jkt.Sel.

Adapun duduk permasalahannya adalah sebagai berikut.

Pada tanggal 19 Oktober 2003 di sebuah warung nasi goreng di Jl. R.C. Veteran Bintaro, Penggugat membeli minuman Coca-Cola botol ukuran 193 Ml, yang diminum dengan menggunakan sedotan hingga lebih dari 2/5 (duaperlima) bagian. Kemudian setelah meminumnya Penggugat sadar akan rasa dan bau asing yang tidak seperti biasanya rasa Coca-cola tersebut, terlihat jelas terdapat sepotong obat nyamuk bakar didalam botol tepatnya didasar botol tersebut. Tak lama kemudian tenggorokan serta dada P didera rasa sakit dan panas yang berlebihan, kepala berdenyut sakit serta perut bergejolak yang menimbulkan rasa mual dan nyeri yang semakin lama semakin menjadi, maka Penggugat segera dilarikan ke Klinik Remedika, Bintaro, Jakarta Selatan untuk mendapatkan pertolongan pertama. Dengan ditemukanya potongan obat nyamuk tersebut, dapat disimpulkan minuman coca-cola telah terkontaminasi oelh racun jenis pestisida yang seharusnya digunakan sebagai bahan dasar untuk membunuh serangga, sehingga apabila masuk kedalam tubuh manusia, hal ini dapat mengancam dan membahayakan kesehatan dan keselamatan jiwa.

Setelah berusaha melakukan penyelesaian secara kekeluargaan dan ternyata tidak mendapatkan tanggapan yang memadai dari pihak produsen, maka konsumen tersebut (Takasu Masaharu) mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum dengan dalil Para tergugat telah melakukan pelanggaran atas : Pasal 4 huruf (a, d, h, dan I) UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengenai hak-hak konsumen, pasal 7 huruf (b,d, dan f) jo. pasal 8 ayat (1) huruf a, ayat 2 dan 4 UUPK mengenai kewajiban pelaku usaha.







[1] Nasution, A.Z., 1994, Perlindungan Konsumen dan Peradilan di Indonesia, Jakarta. BPHN, hlm. 4-7; Lihat jugha pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen)

[2] Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary Sixth Edition, St. Paul Minn, West Publishing Co.

[3] Algra, N.E., Gokkel, H.R.W., Kamus Istilah Hukum Fockema-Andreae: Belanda-Indonesia (terjemahan oleh Saleh Adiwinata et.al), Bandung, Binacipta: Hlm 420.

[4] Shofie, Yusuf. 2000. Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya, PT. Citra Aditya Bakti – Bandung, Hlm.240.

Tidak ada komentar: