Jumat, 25 April 2008

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA (CORPORATE CRIME LIABILITY)

PT. LAPINDO BRANTAS

DALAM TINDAK PIDANA LINGKUNGAN

(STUDI KASUS SEMBURAN LUMPUR BANJAR PANJI I SIDOARJO)

Author:
Rahmat Setiabudi Sokonagoro
(dalam penyusunan dibantu oleh: R. Bagus Nursalim, Ardeta Surya, Evran Sherwin, dan Theresia L. Pesulima)

(hak cipta dilindungi oleh undang-undang)

I. PENDAHULUAN

Belum lepas dari ingatan kita, pada tanggal 29 Mei 2006, tepat satu hari setelah bencana alam gempa bumi mengguncang Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, sebuah bencana akibat kelalaian manusia terjadi di daerah Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Bencana tersebut adalah semburan lumpur panas dari lokasi pengeboran minyak bumi, Sumur Banjar Panji I, yang terletak di Desa Reno Kenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Propinsi Jawa Timur. Semburan lumpur yang sampai saat ini belum dapat di tutup, bahkan dihentikan, telah mengakibatkan tutupnya tak kurang dari 10 pabrik, merendam lebih dari 100 hektar lahan produktif dan pemukiman yang memaksa penduduk setempat harus mengungsi ke tempat yang lebih aman, dalam artian tidak terendam lumpur panas tersebut. Selain itu, semburan lumpur panas ini mengakibatkan banjir lumpur yang mengganggu jadwal perjalanan kereta api, dan juga transportasi melalui jalan tol Surabaya – Gempol yang harus ditutup. Pendek kata, semburan lumpur ini telah mengakibatkan kerugian ekonomi dan kerusakan lingkungan yang maha dahsyat, dan tak terkira. Sebuah wilayah yang tadinya subur, produktif, dan banyak penduduk yang menjalankan usaha kecil menengah telah hancur. Sebagai informasi, bahwa dampak dari semburan lumpur ini juga telah memaksa para perajin kulit di daerah Tanggulangin untuk gulung tikar. Sebuah akibat yang sangat luar biasa jika dibandingkan dengan penyebab dari peristiwa semburan lumpur ini.

Dari beberapa sumber, terdapat pendapat-pendapat yang menerangkan sebab-sebab terjadinya semburan lumpur panas serta akibat-akibat yang terkait pada blok Banjar Panji I ini, yakni[1]:

1. Kasus kebocoran gas dan luberan lumpur tidak diakibatkan oleh bencana alam gempa bumi Yogyakarta. Pendapat ini didapatkan dari hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Penyidik Polda Jawa Timur terhadap saksi ahli dari BMG (dikutip dari berita ANTV, 8 Juni 2006);

2. Kasus tersebut merupakan salah satu akibat yang timbul dari kesengajaan PT. Lapindo Brantas dan memberikan dampak yang sangat besar bagi kehidupan masyarakat, dan merupakan bencana ekologi yang terbesar di Jawa Timur pada tahun ini ( dikutip dari pernyataan Direktur Eksekutif WALHI Jawa Timur, dalam Surabaya Pagi, 7 Juni 2006);

3. Semburan gas dan lumpur PT. Lapindo Brantas disebabkan oleh pecahnya formasi sumur pengeboran, ketika bor akan diangkat untuk mengganti rangkaian, tiba-tiba bor macet sehingga gas tidak bisa keluar dari melalui saluran fire pit dalam rangkaian pipa bor dan menekan ke samping. Gas mencari celah dan keluar melalui permukaan tanah yang merekah di permukaan rawa (keterangan dari Syahdun, mekanik PT. Tiga Musim Jaya Mas, kontraktor yang melakukan pengeboran, dikutip dari harian Kompas, 8 Juni 2006);

4. Semburan lumpur yang disertai gas hidrokarbon pada sumur Banjar Panji I yang dikelola oleh PT. Lapindo Brantas bukan merupakan bencana alam, namun lebih karena faktor ketidak beruntungan. Diduga pada saat penggalian dilakukan, lubang galian belum sempat disumbat dengan cairan beton sebagai sampul. (Dr. Adi Susilo, Kepala Laboratorium Geosains, Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pasti Alam, Universitas Brawijaya Malang, dikutip dari harian Kompas, 8 Juni 2006);

5. Semburan lumpur tersebut kemungkinan disebabkan karena kesalahan prosedural drilling yang mengakibatkan terjadinya blow up. Dalam blow up gas yang dicari oleh perusahaan naik melalui lubang bor. Secara prosedural, jika ada gas naik maka akan dilakukan penyumbatan dengan lumpur. Namun mungkin saja gas yang bertekanan besar tetap menyembur mendorong lumpur dan mencari retakan tanah yang lain yang ada di dalam tanah. Akibatnya muncul lumpur sekaligus gas di sekitar lokasi pengeboran eksplorasi PT. Lapindo Brantas. Lumpur yang keluar bisa berasal dari lumpur yang digunakan untuk menutup lubang bor atau bisa saja lumpur yang menutup lapisan gas dalam tanah. Sedangkan dugaan semburan gas dan lumpur panas karena gempa di Yogyakarta adalah tidak masuk akal. Perlu gempa berkekuatan 6 SR untuk menimbulkan rekahan, dan yang dirasakan di Surabaya tidak sampai 2 SR. Gempa di Yogyakarta kemarin karena bergesernya sesar Opak yang tidak berhubungan dengan Surabaya. Kalau ada yang melintasi Surabaya, itu adalah retakan yang berasal dari Surabaya ke arah Pacitan. Berdasarkan pemantauan, dari baunya, kemungkinan gas tersebut mengandung hidro karbon yang bersifat karsinogenik yang dapat mengakibatkan kanker, sehingga daerah tersebut harus segera diisolasi. (Ir. Amien Widodo, MT, Kepala Pusat Studi Bencana Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya, dikutip dari Kompas 8 Juni 2006).

Dari beberapa pendapat tersebut di atas, banyak yang menekankan bahwa sebab dari semburan lumpur panas di Sumur Banjar Panji 1 tersebut bukanlah merupakan bencana alam, namun sebagai akibat kelalaian prosedur dalam drilling.

Dari sisi korporasi, PT. Lapindo Brantas adalah Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang ditunjuk oleh BP MIGAS untuk melakukan pengeboran minyak dan gas bumi. Saham dari PT. Lapindo Brantas dimiliki 100 % oleh PT. Energi Mega Persada, Tbk (EMP) melalui anak perusahaannya yakni Kalila Energy, Ltd (84,24%) dan Pan Asia Enterprise (15,76%). Saat ini Lapindo memiliki 50% participating interest di wilayah Blok Brantas. Selain Lapindo, participating interest blok Brantas juga dimiliki PT. Medco E&P (anak perusahaan dari Medco Energy) sebesar 32 % dan Santos sebesar 18 %. Dikarenakan memiliki nilai saham yang terbesar dalam participating interest tersebut, maka Lapindo Brantas bertindak sebagai operator.

PT. Energi Mega Persada, Tbk (EMP) sebagai pemegang saham mayoritas dari PT. Lapindo Brantas adalah anak perusahaan dari Group Bakrie. Group Bakrie memiliki 63,53% saham, sisanya dimiliki oleh komisaris EMP, Rennier A.R. Latief sebesar 3, 11%, Julianto Benhayudi sebesar 2,18%, dan publik sebesar 31,18 %. Chief Executive Officer PT. Lapindo Brantas adalah Nirwan Bakrie, yang merupakan adik kandung dari Menko Kesra Aburizal Bakrie.

Kasus ini menjadi sarat muatan politis karena adanya hubungan atau afiliasi sebagaimana tersebut diatas. Pihak yang berwajib sampai saat ini belum menetapkan CEO PT. Lapindo Brantas sebagai tersangka.

Oleh karena itu, penulis tertarik untuk menelusuri lebih jauh mengenai pertanggung jawaban korporasi (corporate liability) dalam suatu tindak pidana in casu Pertanggung Jawaban PT. Lapindo Brantas Inc dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup dalam kasus Semburan Lumpur Panas di Sidoarjo.

II. RUMUSAN MASALAH

Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam paper ini adalah:

1. Dapatkah korporasi bertanggung jawab secara pidana?

2. Bagaimanakah bentuk pertanggungjawaban korporasi dan organ-organnya dalam suatu tindak pidana in casu tindak pidana lingkungan hidup?

3. Apakah corporate liability ini dapat diterapkan dalam kasus semburan lumpur panas sidoarjo, dan bagaimana realitasnya?

III. PEMBAHASAN

III.1. Pertanggungjawaban Korporasi terhadap Suatu Tindak Pidana

Menurut pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, PT adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya. Dengan demikian, PT mempunyai karakteristik yang membedakan dengan bentuk lembaga lainnya, yakni PT adalah badan hukum, dan pemegang saham tidak bertanggung jawab lebih dari nilai saham yang diambilnya dan tidak meliputi harta kekayaan pribadi pemegang saham (vide pasal 3 ayat (1) UUPT).

Dalam ajaran hukum, subyek hukum itu terdiri dari natuurlijk persoon dan recht persoon. Atau dengan kata lain, subyek hukum itu terdiri dari orang yang diartikan secara biologis, dan orang yang diartikan sebagai badan hukum.

Sebagai sebuah badan hukum, PT adalah sebuah kesatuan hukum atau legal entity yang dapat dipersamakan dengan orang, dalam hal ini, PT adalah sebagai subyek hukum, yang dapat menyandang hak dan kewajiban. Namun, karena PT tidak dapat bertindak sendiri, maka dalam bertindak atau melakukan perbuatan hukum, PT diwakili oleh Direksi yang bertindak untuk dan atas nama PT tersebut. Direksi wajib dengan itikad baik, kehati-hatian, dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas pengurusan PT untuk kepentingan dan usaha PT (vide Pasal 97 UUPT). Hubungan yang timbul antara perseroan dengan direksi adalah fiduciary duties, yakni tugas yang timbul dari suatu hubungan yang bersifat fiduciary atau kepercayaan antara direksi dengan perseroan yang dipimpinnya. Apabila direksi melakukan kesalahan dan kelalaian sehingga mengakibatkan perseroan menderita kerugian, maka direksi wajib bertanggung jawab secara penuh dan pribadi dan apabila direksi terdiri dari 2 (dua) orang atau lebih, maka tanggung jawab itu dibebankan secara tanggung renteng (vide pasal 97 ayat (4) jo. ayat (5) UUPT).

Dari pengertian di atas, maka dapat di tarik kesimpulan bahwa perseroan itu dapat dimintai pertanggungjawaban, yang seharusnya meliputi pertanggungjawaban secara perdata maupun secara pidana. Hal inilah yang mendasari timbulnya teori kejahatan korporasi. Kejahatan korporasi (corporate crime) adalah any criminal offense committed by and hence chargeable to a corporation because of activities of its officers or employees (e.g., price fixing, toxicwaste dumping), often referred to as “white collar crime”.[2] Secara lepas kejahatan korporasi dapat diartikan sebagai suatu tindak pidana yang dilakukan oleh dan oleh karena itu dapat dibebankan kepada korporasi karena aktivitas aktivitas pegawai atau karyawannya, sering juga disebut kejahatan kerah putih. Sally A. Simpson yang mengutip pendapat John Braithwaite menyatakan kejahatan korporasi adalah “conduct of corporation or employees acting on behalf of a corporation, which is proscribed and punishable by law”.[3] Simpson menyatakan bahwa ada tiga ide pokok dari definisi diatas mengenai kejahatan korporasi. Pertama, kegiatan ilegal dari korporasi dan agen-agennya berbeda dengan perilaku kriminal kelas bawah dalam hal prosedur administrasi. Karenanya, yang digolongkan sebagai kejahatan korporasi tidak hanya kejahatan atas tindak pidana saja, namun juga meliputi pelanggaran terhadap hukum perdata dan hukum administrasi. Kedua, baik korporasi sebagai subyek hukum perseorangan dan perwakilannya termasuk sebagai pelaku kejahatan dimana dalam praktek judisialnya bergantung antara lain dari kejahatan yang dilakukan, aturan dan kualitas pembuktian dan penuntutan. Ketiga, kejahatan korporasi dilakukan dengan motivasi pemenuhan kebutuhan dan keuntungan organisasional, bukan pemenuhan kebutuhan pribadi. Tidak menutup kemungkinan motif tersebut ditopang oleh norma operasional dan sub-kultur organisasional.

Tindak pidana (crime) dapat diidentifikasi dengan timbulnya kerugian yang kemudian mengakibatkan timbulnya pertanggungjawaban pidana (criminal liability). Yang sampai saat ini masih mengundang perdebatan adalah bagaimanakah pertanggungjawaban korporasi ini mengingat dalam KUH Pidana Indonesia, yang dianggap sebagai subyek hukum pidana adalah orang-perseorangan dalam artian biologis yang alami (natuurlijke persoon). Disamping itu, KUHP masih menganut asas sociates delinquere non potest dimana badan hukum atau korporasi dianggap tidak dapat melakukan tindak pidana.[4] Jika seandainya suatu tindakan yang dilakukan untuk dan atas nama korporasi terbukti menimbulkan kerugian dan harus diberikan sanksi, maka pertanyaan selanjutnya adalah siapa yang akan bertanggung jawab.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia memang hanya menetapkan bahwa yang menjadi subyek hukum pidana adalah orang-perseorangan (natuurlijke persoon/legal person). Pembuat undang-undang dalam menyusun rumusan delik harus memperhitungkan bahwa manusia melakukan tindakan di dalam atau melalui organisasi yang menurut hukum perdata maupun hukum yang lain (administrasi) merupakan satu kesatuan yang oleh karenanya diakui sebagai badan hukum atau korporasi. Berdasarkan KUHP, maka pembuat undang-undang akan merujuk kepada para pengurus yang menjalankan organisasi itu jika berhadapan dengan situasi seperti ini. Sehingga dapat disimpulkan bahwa KUH Pidana Indonesia saat ini tidak dapat dijadikan dasar untuk menjerat suatu tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi, namun hanya dimungkinkan untuk menjerat para pengurus organisasi atau korporasi. Hal ini bisa kita lihat dalam pasal 398 KUHP yang menyatakan jika seorang pengurus atau komisaris suatu perseroan terbatas, maskapai andil Indonesia, atau perkumpulan korporasi yang dinyatakan dalam keadaan pailit atau yang diperintahkan penyelesaian pengadilan diancam dengan pidana paling lama 1 tahun 4 bulan jika: 1. yang bersangkutan mengizinkan atau turut membantu untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan anggaran dasar sehingga oleh karena itu seluruh atau sebagian besar kerugian diderita oleh perseroan, maskapai, atau perkumpulan.....(dan seterusnya).

Dalam literatur Indonesia juga ditemukan pandangan yang mewacanakan menempatkan korporasi sebagai subyek hukum pidana, misalnya pandangan Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, menyatakan bahwa:

dengan adanya perkumpulan-perkumpulan dari orang-orang sebagai badan hukum turut serta dalam pergaulan hidup bermasyarakat, timbul gejala-gejala dari perkumpulan itu, yang apabila dilakukan oleh oknum, terang masuk dalam rumusan pelbagai tindak pidana. Dalam hal ini, sebagai perwakilan, yang kena hukuman pidana adalah oknum itu lagi, yaitu orang-orang yang berfungsi sebagai pengurus dari badan hukum tersebut, seperti misalnya seorang direktur dari perseroan terbatas, yang dipertanggungjawabkan. Sedangkan mungkin sekali seorang direktur itu hanya melakukan tindakan dari hasil keputusan rapat dewan direksi. Maka timbul dan merata kemudian gagasan bahwa suatu perkumpulan sebagai badan tersendiri dapat dikenakan hukuman pidana sebagai subyek dalam suatu tindak pidana[5] Di Indonesia, salah satu aturan yang mengatur dan mengakomodasi tentang tindak pidana yang dilakukan oleh perseroan atau korporasi adalah Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 46 yang mengadopsi doktrin vicarious liability.[6] Meskipun tidak digariskan secara jelas seperti KUHP di Belanda, dalam sistim hukum di Indonesia saat ini dikenal tiga bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap kejahatan korporasi berdasarkan peraturan yang sudah ada yaitu: dibebankan pada korporasi itu sendiri (vide pasal 65 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan), kemudian dapat dibebankan kepada organ atau pengurus korporasi yang melakukan perbuatan atau mereka yang bertindak sebagai pemimpin dalam melakukan suatu tindak pidana seperti yang diatur dalam pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Kemudian selanjutnya, adalah dapat dibebankan baik kepada pengurus korporasi sebagai pemberi perintah maupun terhadap korporasi tersebut sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Korporasi sebagai badan hukum tentu saja sudah memiliki identitas hukum tersendiri. Identitas hukum sebuah korporasi terpisah dari identitas hukum organ-organnya seperti direksi, pemegang saham, maupun komisaris. Dalam kaidah hukum perdata, sudah jelas bahwa perseroan terbatas (korporasi) adalah sebagai subyek hukum perdata, sehingga oleh karenanya dapat mengadakan perikatan seperti jual beli, menandatangani kontrak, juga dapat menggugat dan digugat di muka pengadilan dalam hubungan keperdataan. Para pemegang saham menikmati keuntungan yang diperoleh dari konsep pertanggung jawaban terbatas, dan kegiatan korporasi berlangsung terus menerus, dalam artian, bahwa keberadaannya tidak akan berubah meskipun terjadi perubahan baik penambahan maupun pengurangan dari anggota-anggotanya. Namun sampai saat ini pertanggungjawaban pidana korporasi (corporate criminal liability) masih mengundang perdebatan. Banyak pihak yang berkeberatan, bahwa korporasi yang wujudnya semu dapat melakukan suatu perbuatan pidana serta memiliki criminal intent yang akan melahirkan pertanggungjawaban pidana. Disamping itu sangat mustahil menghadirkan korporasi dengan fisik yang sebenarnya dalam suatu persidangan pidana dan duduk di kursi terdakwa.

Baik dalam sistim hukum civil law maupun common law, sangat sulit untuk mengatribusikan suatu tindakan tertentu (actus reus) serta membuktikan adanya mens rea (criminal intent). Bahwa keberadaan korporasi dalam hukum pidana adalah fiksi hukum yang tidak mempunyai mind, sehingga tidak mempunyai suatu nilai moral yang dipersyaratkan untuk dapat dipersalahkan secara pidana.

Dalam usaha meminta pertanggungjawaban korporasi, telah lahir sejumlah konsep yang relevan. Doktrin-doktrin tersebut adalah: identification doctrine, aggregation doctrine, reactive corporate fault, vicarious liability, management failures model, corporate mens rea doctrine, dan specific corporate offences.

III.1.1. Identification Doctrine

Metode tradisional yang digunakan untuk pertanggungjawaban pidana korporasi menurut hukum Inggris (paling tidak untuk kejahatan yang melibatkan niat) adalah dengan the identification doctrine. Menurut doktrin ini, bila seorang yang cukup senior dalam struktur korporasi, atau dapat mewakili korporasi melakukan suatu kejahatan dalam bidang jabatannya, maka erbuatan dan niat orang itu dapat dihubungkan dengan korporasi. Korporasi dapat diidentifikasi dengan perbuatan ini dan dimintai pertanggungjawaban secara langsung.

Berdasarkan teori ini, kesalahan dari anggota direksi atau organ perusahaan yang tidak menerima perintah dari tingkatan yang lebih tinggi dalam perusahaan dapat dibebankan kepada perusahaan. Suatu korporasi adalah sebuah abstraksi. Ia tidak mempunyai akal pikiran sendiri dan begitu pula tubuh sendiri. Kehendaknya harus dicari atau ditemukan dalam diri seseorang yang untuk tujuan tertentu dapat disebut sebagai agen/perantara yang benar-benar merupakan otak dan kehendak untuk emngarahkan (directing mind and will) dari korporasi tersebut. Orang yang bertindak bukan berbicara atau bertindak atas nama perusahaan. Ia bertindak sebagai perusahaan dan akal pikirannya yang mengarahkan tindakannya berarti adalah akal pikiran dari persahaan. Jika akal pikirannya bersalah, berarti kesalahan itu merupakan kesalahan perusahaan.

Namun terdapat keberatan yang cukup signifikan atas identification doctrine ini, khususnya berkaitan dengan korporasi-korporasi besar dimana kemungkinannya sangat kecil seorang senior manager akan melakukan suatu perbuatan secara langsung (actus reus) atas suatu tindak pidana dengan disertai mens rea. Berkaitan dengan tindak pidana pencemaran, Morland J menyatakan di dalam National Rivers Authority v Alfred McAlpine Homes East (1994) 4 All ER 286 pada halaman 298 bahwa: “hampir dalam semua kasus, perbuatan atau kelalaian dilakukan oleh orang seperti buruh atau orang-orang dengan posisi yang rendah dalam hirarki suatu korporasi industri, pertanian atau perdagangan”. Dalam hal tindak pidana yang menyebabkan orang mati atau luka berat sangat kecil kemungkinan seorang pegawai senior akan secara langsung tangannya berlumuran dengan darah.

Lebih lanjut dalam sejumlah kasus pada korporasi dengan struktur organisasi yang besar dan kompleks, hampir mustahil bagi pihak luar untuk menembus dinding korporasi guna memastikan individu-individu yang sesungguhnya melakukan kejahatan. Sejumlah uang, waktu dan keahlian yang dilibatkan dalam investigasi semacam ini bisa jadi tidak sebanding dengan kesalahan yang dilakukan, dan dalam peristiwa tertentu bisa jadi tidak membuahkan hasil bila korporasi memutuskan untuk menebarkan kabut asap di sekitar daerah operasionalnya.

Dalam kasus semacam ini, meskipun dengan jelas perusahaan dapat langsung dipersalahkan, namun the identification doctrine menghambat suksesnya tuntutan terhadap perusahaan. Memang agak ganjil, teori ini dianggap mendorong korporasi untuk tidak mengangkat personil senior yang bertanggungjawab di bidang keselamatan.

Namun dalam bentuknya yang klasik, ada kasus yang cukup sukses menggunakan doktrin ini, yaitu Putusan Privy Council terhadap Meridian Global Funds Management Asia Ltd. V Securities Cimmision (1995) 2 AC 500. Dalam kasus ini, seorang manager investasi menanamkan modal di korporasi lain tanpa membuat pemberitahuan yang diperlukan sebagaimana ia ketahui bahwa ia memiliki kewajiban untuk melakukannya. Berdasarkan indentification doctrine yang klasik seorang manager investasi semacam ini tidak cukup senior untuk mewakili kepentingan korporasi. Namun, Lord Hoffman menolak membatasi the identification doctrine kepada mereka yang hanya mewakili pikiran dan kehendak dari korporasi. Ia menyatakan baha dalam setiap kasus pengadilan harus “memperhatikan aturan-aturan khusus yang berkaitan dengan korporasi”. Menurut aturannya, seseorang diharuskan memberitahukan setiap investasi penting dan perdagangan saham korporasi. Pertanyaannya adalah “tindakan siapa (atau kehendak, atau pengetahuan) agar tujuan tersebut dimaksudkan sebagai tindakan dari sebuah korporasi? Dalam kasus ini adalah manager investasi yang melakukan penanaman modal. IA adalah orang yang diberi kewenangan untuk melakukan itu. Dengan doktrin ini maka tindakan dan pengetahuan manager investasi tersebut dapat dibebankan ke korporasi.

III.1.2. Aggregation Doctrine

Dalam rangka mengatasi sejumlah permasalahan yang muncul dalam identification doctrine, sebuah alternatif dasar bagi pembentukan tanggung jawab pidana adalah aggregation doctrine yang dikenal di Amerika sebagai the Collective Knowledge Doctrine. Menurut pendekatan ini, tindak pidana tidak bisa hanya diketahui atau dilakukan oleh satu orang. Oleh karena itu, perlu mengumpulkan semua tindakan dan niat dari beragam orang yang relevan dalam korporasi tersebut, untuk memastikan apakah secara keseluruhannya tindakan mereka akan merupakan suatu kejahatan atau senilai dengan apabila perbuatan dan niat itu dilakukan oleh satu orang.

Sebagai contoh, apabila berbuat atau tidak berbuatnya A, B, C, dan D secara kumulatif akan menimbulkan kerugian dan apabila unsut mental atau kelalaian mereka digabungkan akan menghasilkan niat untuk suatu kejahatan, perusahaan dapat dimintai pertanggungjawaban. Doktrin ini mengambil keuntungan dari pengakuan bahwa dalam banyak kasus tidak mungkin untuk memisahkan seseorang yang telah melakukan kejahatan dengan niat. Doktrin ini dapat mencegah korporasi dari mengubur tanggung jawabnya dalam dalam di dalam struktur korporasi. Namun demikian doktrin ini juga memiliki sejumlah kelemahan. Sementara penyatuan tindakan dan kehendak dari A, B, C dan D secara keseluruhan dapat menjadi suatu kejahatan, dalam realitasnya tidak ada seorang individu pun salah secara personal. Memang, korporasi mungkin distrukturkan dan dibagi-bagi sedemikian rupa sehingga tidak ada cara yang memadai bagi A untuk mengetahui apa yang dilakukan B atau kelemahan yang dilakukannya. Bila A dan B dalam bidang yang berbeda emreka mungkin memiliki sedikit kesempatan untuk berkomunikasi. Meskipun begitu, karena tindakan-tindakan mereka menjadi bagian pelengkap dari korporasi, mereka akan fall under the shadow of a serious offence dengan kemungkinan menerima konsekuensi pendisiplinan, jabatan atau hak untuk pensiun.

Dengan struktur korporasi yang besar dan kompleks, doktrin ini tidak efektif dalam hal pencegahan. Sebab doktrin ini gagal memberikan peringatan lebih lanjut kepada korporasi mengenai apa yang diharapkan akan dilakukan oleh korporasi agar mereka tidak terkena resiko tanggung jawab pidana. Secara singkat, sekarang di Inggris, jenis tanggung jawab ini dianggap sudah ketinggalan jaman. Sebagaimana identification doctrine, doktrin ini juga mengabadikan mitos personifikasi korporasi. Tetapi doktrin ini bukan menemukan seseorang yang padanya korporasi diidentifikasi, malah menemukannya pada beberapa orang. Doktrin ini mengabaikan kenyataan bahwa esensi yang sebenarnya dari kesalahan mungkin bukan pada apa yang dilakukan A, B, C,dan D melainkan fakta bahwa korporasi tidak memiliki struktur organisasi atau kebijakan untuk mencegah A< style="">Aggregation doctrine saat ini digunakan secara luas di Amerika, tetapi ditolah dalam hukum Inggris.

III.1.3. Reactive Corporate Fault

Suatu pendekatan berbeda tentang tanggung jawab pidana korporasi telah diusulkan oleh Fisse[7] dan Braithwaite. Yaitu dengan mengemukakan bahwa suatu perbuatan yang merupakan tindak pidana dilakukan oleh atau atas nama sebuah korporasi, pengadilan harus diberi kewenangan untuk memerintahkan korporasi untuk melakukan investigasi sendiri guna memastikan orang yang bertanggung jawab dan mengambil suatu tindakan disiplin yang sesuai atas kesalahan orang tersebut dan mengambil langkah-langkah perbaikan untuk menjamin kesalahan tersebut tidak akan terulang kembali.

Apabila korporasi mengambil langkah penanganan yang tepat, maka tidak ada tanggung jawab pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi. Tanggung jawab pidana hanya bisa diterapkan terhadap korporasi apabila korporasi gagal memenuhi perintah pengadilan dengan sungguh-sungguh. Dengan demikian, kesalahan korporasi bukanlah kesalahan pada saat kejahatan terjadi tetapi kesalahan karena korporasi gagal melakukan tindakan yang tepat atas kesalahan yang dilakukan oleh pekerjanya.

Pendekatan ini memiliki kelebihan yaitu mewajibkan korporasi itu sendiri melakukan penyelidikan yang sesuai, bukannya aparatur negara yang melakukannya. Hal ini tidak hanya akan menghemat waktu dan uang publik, tetapi seringkali korporasi itu sendiri memiliki kemampuan terbaik untuk memahami dan menembus struktur organisasinya yang kompleks. Ini juga merupakan satu pendekatan yang mengakui bahwa satu dari tujuan utama tanggung jawab pidana korporasi adalah untuk memastikan bahwa korporasi memperbaiki kebijakan-kebijakan dan praktek-praktek mereka yang kurang baik sehingga mencegah kesalahan tersebut berulang.

Namun, kekuarangan dari doktrin ini juga banyak. Salah satunya adalah mengukur tindakak korektif dan sanksi disiplin seperti apa yang cukup untuk menghindari tanggung jawab pidana? Cukupkah teguran secara formal kepada seorang karyawan yang dibarengi dengan sirkulasi sebuah memorandum internal yang menasehati staf tentang sejumlah tindakan yang akan dilakukan di masa depan?

Apabila unsur-unsur pembunuhan tanpa direncanakan (manslaugter), yaitu dalam hal tindak pidana (actus reus) dan niat (mens rea) telah terpenuhi. Bagaimana mungkin kegagalan untuk memberikan sanksi disiplin kepada seorang pekerja atau kegagalan untuk menyetujui pemasangan peralatan keamanan, kemudian diadili berdasarkan pembunuhan tanpa rencana? Akan terdengar sangat aneh apabila satu perusahaan bisa menghindari pertanggungjawaban manslaugter tersebut hanya dengan menyetujui untuk memasang lampu peringatan yang tepat pada kapal-kapal feri mereka, sementara perusahaan lain yang mungkin tidak terlalu dapat disalahkan sebagai penyebab kematian akan dihukum atas kejahatan yang serius ini hanya karena tindakan penyelesaiannya dianggap tidak memadai.

Bagaimanapun tingkatan pemidanaan dalam kasus semacam ini harus mengacu kepada aturan dasar bahwa hukuman secara umum harus proporsional atas serius atau tidaknya suatu kejahatan. Secara singkat, the reactive fault doctrine memiliki time frame yang seluruhnya keliru. Perbuatan salah adalah tindakan yang asli atau kelalaian yang menimbulkan kerugian. Kesalahan harus dinilai dengan mengacu pada perbuatan atau kelalaian tersebut.

III.1.4. Vicarious Liability

Di Amerika Serikat, cara yang sangat umum dalam meminta korporasi beranggung jawab secara pidana adalah melalui doktrin respondeat superior atau vicarious liability. Menurut doktrin ini, bila seorang agen atau pekerja korporasi, bertindak dalam lingkup pekerjaannya dan dengan maksud untuk menguntungkan korporasi, melakukan suatu kejahatan, tanggung jawab pidananya dapat dibebankan kepada perusahaan. Tidak menjadi masalah apakah perusahaan secara nyata memperoleh keuntungan atau tidak atau apakah aktifitas tersebut telah dilarang oleh perusahaan atau tidak.

Doktrin ini telah berjalan dengan baik di dalam hukum Inggris, dalam hubungannya dengan kejahatan strict liability berkaitan dengan masalah-masalah seperti pencemaran, makanan dan obat-obatan, kesehatan dan keamanan kerja. Ini juga telah diterapkan untuk kejahatan campuran (hybrid) yang kejahatan utamanya strict liability tetapi mengijinkan pembelaan due dilligence. Namun demikian, jelas bahwa vicarious liability tidak harus diterapkan untuk seluruh kejahatan dari strict liability. Apakah akan diterapkan atau tidak adalah masalah dalam interpretasi terhadap undang-undang berhubungan dengan kebijakan atas keberadaan undang-undang tersebut dan apakah penggunaan vicarious liability akan membantu pelaksanaan undang-undang.

Sangat sulit untuk dipastikan apakah vicarious liability dapat diterapkan dalam setiap kasus. Pertanyaannya adalah apakah vicarious liability memiliki dasar yang kuat untuk meminta pertanggungjawaban korporasi. Alasan-alasan yang mendukung vicarious liability sebagian besar bersifat pragmatis. Dengan melintasi semua masalah yang ada hubungannya dengan doktrin lain seperti menemukan orang yang cukup penting di dalam korporasi yang telah melakukan kejahatan.Dengan doktrin ini, maka sepanjang seseorang tersebut bertindak dalam bidang pekerjaannya dan telah melakukan suatu kejahatan maka perusahaan dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Hal ini akan mencegah perusahaan melindungi dirinya dari tanggung jawab kriminal dengan melimpahkan kegiatan illegal tersebut hanya kepada pekerjanya saja.

Dalam teori,satu korporasi dapat dikatakan telah menyerahkan kekuasaan untuk bertindak di dalam bidangnya masing-masing kepada seluruh staf-nya dan berdasarkan itu, korporasi harus dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan jahat mereka. Ini juga yang dijadikan alasan bahwa pencegahan yang optimal dapat tercapai dengan menerapkan vicarious liability pada korporasi tersebut. Namun ada sejumlah problem besar terkait dengan doktrin ini, khususnya ketika diterapkan untuk kejahatan-kejahatan yang melibatkan mens rea. Pertama, tidak ada bukti empirik yang mendukung pernyataan bahwa cara ini merupakan cara yang paling efektid dalam mencapai pencegahan. Ini sama dengan klaim bahwa kejahatan strict liability dapat dibenarkan dalam hal pencegahan. Untuk merespon klaim ini, telah ditunjukkan bahwa perusahaan akan atau setidaknya hanya melakukan apa yang masuk di akal untuk mencegah kerugian dan strict dan vicarious liability dapat benar-benar beroperasi sebagai sebuah dis-insentif bagi perusahaan untuk ikut serta dalam kegiatan yang secara sosial menguntungkan.

Kedua, vicarious liability boleh jadi terlalu inclusive dalam hal suatu perusahaan dapat dipidana untuk kesalahan dari seorang pekerja yang kepadanya korporasi tersebut seharusnya tidak dipertanggungjawabkan. Dalam hal korporasi bisa jadi telah melakukan seglanya di dalam bidang kekuasaannya untuk mencegah terjadinya kejahatan. Korporasi boleh jadi telah membuat kebijakan yang jelsa dan menetapkan perintah secara luas untuk menghindari kesalahan. Bila seorang pekerja korporasi memutuskan untuk melakukannya sendiri itu, kelihatannya sulit untuk memproses kesalahan korporasi dalm berbuat atau tidak berbuat.

Ketiga, doktrin ini malah bisa jadi sangat tidak inclusive dalam hal kebijakan dan praktek suatu perusahaan mungkin buruk dan barangkali mendorong tingkah laku jahat. Namun bukan tidak mungkin untuk pin point bagi pekerja tertentu yang telah melakukan unsur-unsur kejahatan yang diperlukan, Memang, mengutip putusan dari Amerika dimana perusahaan telah dituntut dan dihukum, walaupun ada fakta yang menunjukkan seluruh pekerja korporasi telah dibebaskan dari tuduhan.

Sementara masih sulit untuk mendukung doktrin vicarious liability untuk seluruh kejahatan, khususnya yang serius seperti manslaughter. Tentu saja tidak sulit untuk membenarkan doktrin ini ketika diterapkan untuk kejahatan strict liability. Kejahatan semacam ini berhubungan dengan masalah yang berkaitan dengan polusi, perlindungan terhadap konsumen, makanan, obat-obatan, kesehatan dan keselamatan. Dan tidak diragukan lagi ini yang kemungkinan besar dilakukan oleh korporasi. Untuk kejahatan semacam ini, menemukan kesalahan pada pihak pelaku tidak diperlukan.

III.1.5. Management Failure Model

Komisi Hukum di Inggris telah mengusulkan satu kejahatan pembunuhan tanpa rencana yang dilakukan oleh korporasi ketika ada kesalahan manajemen oleh korporasi yang menyebabkan seseorang meninggal dunia dan kegagalan tersebut merupakan perilaku yang secara rasional berada jauh dari yang diharapkan dilakukan oleh suatu korporasi. Kejahatan ini didefinisikan dengan mengacu ke kegagalan manajemen (sebagai lawan dari kegagalan korporasi), sebab secara implisit Komisi Hukum Inggris melihat orang-orang dalam korporasi yang melakukan kejahatan dan prasyarat dari kejahatan yang mereka usulkan adalah pembunuhan akibat kesembronoan/kelalaian, tidak tepat diterapkan kepada korporasi. Berdasarkan hal ini, kejahatan didesain tanpa mengacu ke konsep klasik mens rea dalam rangka memastikan perbedaan sifat perbuatan salah oleh korporasi.

III.1.6 Corporate Mens Rea Doctrine

Sudah sering dikemukakan bahwa perusahaan itu sendiri tidak dapat melakukan kejahatan, mereka tidak dapat berpikir atau memiliki kemauan. Hanya orang-orang yang ada dalam perusahaan yang dapat melakukan suatu kejahatan. Namun demikian, orang dapat menerima bahwa seluruh gagasan tentang personalitas korporasi adalah fiksi tetapi dibuat dengan baik dan sangat berguna, kelihatannya tidak ada alasan mengaa hukum tidak harus mengembangkan suatu yang cocok mengenai mens rea korporasi yang fiksi. Sebagian besar doktrin-doktrin lainnya yang telah disebutkan diatas melibatkan fictitious impultations of responsibility.

Gagasan tanggung jawab langsung korporasi semacam ini (sebagai lawan dari attribution doctrines) telah diadvokasi dengan besar-besaran di AS dengan menggunakan berbahai nama seperti the corporate ethos standard atau strategic mens rea. Gagasan ini juga diperkenalkan di Australia dan diusulkan di Inggris. Doktrin ini dikenal dengan istilah corporate mens rea doctrine. Ide dasar doktrin ini ada karena seluruh doktrin yang lainnya telah mengabaikan realitas kompleksnya organisasi korporasi dan dinamika proses secara organisasional, struktur, tujuan, kebudayaan dan hirarki yang dapat bersenyawa dan berkontribusi untuk suatu etos yang mengijinkan atau bahkan mendorong dilakukannya sebuah kejahatan.

Berdasarkan pandangan ini, maka korporasi dapat diyakini sebagai agen yang melakukan kesalahan yang bertindak melalui staf mereka dan pekerja dan mens rea nya dapat ditemukan dalam praktek dan kebijakan korporasi. Sebagai contoh, untuk pembunuhan tanpa rencana, bila satu korporasi gagal mengadakan prosedur keamanan yang nyata dan perlu, pra syarat pengabaian yang berat untuk kejahatan dapat ditemukan dalam praktek korporasi ini dan kelemahan dari kebijakan keselamatan.

III.1.7. Specific Corporate Offences

Saat ini banyak perusahaan yang membunuh pekerjanya atau anggota masyarakat, menemukan dirinya dituntut berdasarkan Undang-Undang Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Struktur yang berbeda dari kejahatan ini telah menimbulkan persepsi bahwa ini lebih kecil daripada kejahatan administratif. Kejahatan korporasi tidak sejahat kejahatan yang sebenarnya. Untuk alasan yang sama, usulan untuk membuat kejahatan korporasi yang memfokuskan pada resiko yang ditimbulkannya yang kemungkinan akan emnimbulkan kerugian yang serius akan mengalami kegagalan dalam memberi label kejahatan secara fair dan mengkomunikasikan seriusnya kejahatan korporasi.

III.2. Bentuk Pertanggungjawaban Korporasi dalam Kasus Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan

Berdasarkan teori-teori di atas, jika kita kaitkan dengan peraturan perundang-undangan in casu semburan lumpur panas Lapindo Brantas, maka berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH), terutama pasal 46, Indonesia sudah menganut asas vicarious liability.

Dalam UUPLH dinyatakan bahwa pelaku tindak pidana di bidang lingkungan hidup adalah orang perseorangan, dan atau kelompok orang, dan atau badan hukum. Tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain tersebut maupun terhadap mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.

Jika tindak pidana dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, dan dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, yang bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap mereka yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin tanpa mengingat apakah orang-orang tersebut, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, melakukan tindak pidana secara sendiri atau bersama-sama.

Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan, atau organisasi lain, panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat-surat panggilan itu ditujukan kepada pengurus di tempat tinggal mereka, atau di tempat pengurus melakukan pekerjaan yang tetap. Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, yang pada saat penuntutan diwakili oleh bukan pengurus, hakim dapat memerintahkan supaya pengurus menghadap sendiri di pengadilan. Apabila tindak pidana dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan, atau organisasi lain, ancaman pidana denda diperberat dengan sepertiga.

Sanksi pidana yang dapat dijatuhkan selain ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam KUHP dan UUPLH, terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup dapat pula dikenakan tindakan tata tertib berupa: perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan atau penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan; dan/atau perbaikan akibat tindak pidana; dan atau mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan atau meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan atau menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.

Dengan demikian, untuk dapat dinyatakan suatu tindak pidana sebagai kejahatan yang dilakukan oleh korporasi, menurut UUPLH maka:

a. Tindak pidana harus dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, dan dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, yang bertindak dalam lingkungan badan hukum;

b. Tindak pidana yang dilakukan merupakan tindak pidana di bidang lingkungan hidup;

c. Tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap mereka yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin tanpa mengingat apakah orang-orang tersebut, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain melakukan tindak pidana secara sendiri atau bersama-sama.

Jadi bentuk pertanggung jawaban pidana yang dapat dikenakan kepada korporasi yang telah terbukti melakukan tindak pidana lingkungan hidup adalah sanksi denda dan sanksi administrasi. Hal ini diatur dalam pasal 46 jo. Pasal 45 dan pasal 47 UUPLH. Pemberian sanksi yang dibatasi ini cenderung mengikuti teori fictie atas suatu badan hukum. Teori fictie ini diajarkan oleh Von Savigny. Teori ini menyatakan bahwa adanya badan hukum itu merupakan anggapan saja (fiksi) yang diciptakan oleh negara (yang berwenang), sebab sebenarnya badan atau perkumpulan atau organisasi itu tidak mempunyai kekuasaan untuk menyatakan kehendaknya sendiri seperti halnya manusia. Sehingga badan hukum bila akan bertindak untuk melaksanakan kehendaknya harus dengan perantaraan wakilnya yaitu alat perlengkapannya, misalnya: direktur atau pengurusnya.

Menurut teori ini, sebuah badan hukum tidak dapat melaksanakan kehendaknya sendiri, sehingga harus diwakilkan. Dalam hal korporasi melakukan suatu tindak pidana, maka direktur lah yang mewakili korporasi tersebut untuk menghadap ke pengadilan. (vide pasal 98 ayat (1) UUPT). Namun apakah ketika PT tersebut dinyatakan secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana, direksi yang mewakilinya kemudian dipidana atas kejahatan korporasi tersebut. Jawabannya tentu tidak. Karena itulah, sanksi pidana terhadap perseroan itu hanya berupa pidana denda (yang diperberat) dan sanksi administratif.

Berdasarkan uraian diatas, dapat diartikan bahwa selain orang-perseorangan selaku pelaku materiil dari sebuah tindak pidana lingkungan hidup, sepanjang dapat dibuktikan bahwa tindakan orang tersebut adalah untuk dan/atau atas nama perseroan, maka perseroan dan siapa yang memimpin tersebut dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana. Disinilah doktrin vicarious liability diterapkan.

Pertanggungjawaban Pidana Oleh Organ Korporasi

Dalam perusahaan, direksi dan komisaris sebagai salah satu organ vital dalam badan hukum tersebut merupakan pemegang amanah (fiduciary), dan oleh karena itu harus berperilaku sebagaimana layaknya pemegang kepercayaan. Hubungan ini, menurut paham common law didasarkan pada teori fiduciary duty. Hubungan fiduciary duty ini didasarkan kepada kepercayaan dan kerahasiaan (trust and confidence), yang dalam peran ini meliputi ketelitian (scrupulous), itikad baik (good faith) dan keterus-terangan (candor). Dalam memahami hubungan kepercayaan tersebut, common law juga memahami bahwa pemegang kepercayaan secara natural juga mempunyai potensi untuk melakukan penyimpangan. Oleh karena itu, hubungan ini harus didasarkan pada standar yang tinggi.[8]

Teori fiduciary duty adalah suatu kewajiban yang ditetapkan undang-undang bagi seseorang yang memanfaatkan seseorang lain, dimana kepentingan pribadi seseorang yang diurus oleh pribadi lainnya, yang sifatnya hanya hubungan atasan-bawahan sesaat. Orang yang mempunyai kewajiban ini harus melaksanakannya berdasarkan suatu standar dari kewajiban (standard of duty) yang paling tinggi sesuai dengan yang dinyatakan oleh hukum. Sedangkan fiduciary ini adalah seseorang yang memegang peran sebagai suatu wakil (trustee) atau suatu peran yang disamakan dengan sesuatu yang berperan sebagai wakil, dalam hal ini peran tersebut didasarkan kepercayaan dan kerahasiaan (trust and confidence) yang dalam peran ini meliputi, ketelitian (scrupulous), itikad baik (good faith), dan keterusterangan (candor). Fiduciary ini termasuk hubungan seperti, pengurus atau pengelola, pengawas, wakil atau wali, dan pelindung (guardian). Termasuk juga di dalamnya seorang lawyer yang mempunyai hubungan fiduciary dengan client-nya.[9]

Negara-negara common law seperti Amerika Serikat yang telah mempunyai standar yang jelas untuk menentukan apakah seorang direktur dapat dimintai pertanggungjawabannya dalam tindakan yang diambilnya, yaitu didasarkan pada standar duty of loyality dan duty of care. Kewajiban utama dari direktur adalah kepada perusahaan secara keseluruhan bukan kepada pemegang saham baik secara individu maupun kelompok, sesuai dengan posisi seorang direktur sebagai sebuah trustee dalam perusahaan. Posisi ini mengharuskan seorang direktur untuk tidak bertindak ceroboh dalam melakukan tugasnya (duty of care). Selain itu dalam melakukan tugasnya tersebut seorang direktur tidak boleh mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri atas perusahaan (duty of loyality ) Pelanggaran terhadap kedua prinsip tersebut dalam hubungannya dengan Fiduciary Duty dapat menyebabkan direktur untuk dimintai pertanggung jawaban hukumnya secara pribadi terhadap perbuatan yang dilakukannya, baik kepada para pemegang saham maupun kepada pihak lainnya. Di Indonesia juga telah mengadopsi teori fiduciary duty dalam UUPT, yakni pada pasal 97 dan 98.

Untuk membebankan pertanggungjawaban terhadap direktur atau pengurus korporasi, maka harus dibuktikan adanya pelanggaran terhadap kekuasaan kewajiban kewenangan yang dimilikinya. Pengurus korporasi dalam hal ini harus dapat dibuktikan telah melanggar good faith yang dipercayakan padanya dalam menjalan korporasi atau perusahaan, sebagaimana diatur dalam prinsip fiduciary duty. Jika kita menghubungkannya dengan identification theory dalam wacana common law sebagaimana telah diuraikan diatas, kesalahan yang dilakukan oleh anggota direksi atau pejabat korporasi lainnya hanya dapat dibebankan pada korporasi jika memenuhi syarat: i) tindakan yang dilakukan oleh mereka berada dalam batas tugas atau instruksi yang diberikan pada mereka, ii) bukan merupakan penipuan yang dilakukan terhadap perusahaan, iii) dimaksudkan untuk menghasilkan atau mendatangkan keuntungan bagi korporasi. Dengan kata lain, jika salah satu syarat ini tidak dipenuhi, maka kesalahan tersebut tidak dapat dipikul oleh korporasi, namun harus dipikul secara pribadi oleh organ korporasi yang melakukan tindakan tersebut.

Berkaitan dengan tindakan anggota direksi atau pejabat korporasi yang mengambil tindakan untuk kepentingan dan keuntungan bagi korporasi, terdapat pula doktrin dalam hukum korporasi yang melindungi para direktur yang beritikad baik tersebut sebagaimana terdapat dalam teori Business Judgment Rule yang merupakan salah satu teori yang sangat popular untuk menjamin keadilan bagi para direktur yang mempunyai itikad baik. Penerapan teori ini mempunyai misi utama, yaitu untuk mencapai keadilan, khususnya bagi para direktur sebuah perusahaan terbatas dalam melakukan suatu keputusan bisnis. Salah satu tolak ukur untuk memutuskan apakah suatu kerugian tidak disebabkan oleh keputusan bisnis (business judgment) yang tidak tepat sehingga dapat menghindar dari pelanggaran prinsip duty of care adalah: pertama, memiliki informasi tentang masalah yang akan diputuskan dan percaya bahwa informasi tersebut benar Kedua, tidak memiliki kepentingan dengan keputusan dan memutuskan dengan itikad baik. Ketiga, memiliki dasar rasional untuk mempercayai bahwa keputusan yang diambil adalah yang terbaik bagi perusahaan.Sehingga, apabila terbukti bahwa tindakan atau keputusan yang diambil oleh direktur untuk memberlakukan suatu kebijakan korporasi yang didasarkan atas business judgment yang tepat dalam rangka meraih keuntungan sebanyak-banyaknya bagi korporasi, maka apabila ternyata tindakan yang diambil tersebut menimbulkan kerugian yang melahirkan pertanggungjawaban pidana, tidak dapat dibebankan pada pribadi pengurus (direksi atau pejabat korporasi lainnya), tetapi dibebankan pada korporasi. Pertanggungjawaban oleh pengurus hanya dimungkinkan apabila terbukti terjadi pelanggaran duty of care dan duty of loyalty.

Indonesia pun telah mengadopsi prinsip business judgement rule ini. Apabila anggota Direksi telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab, anggota direksi tidak dapat dipertanggungawabkan atas kerugian perseroan dengan kriteria: 1). Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; 2). Direksi telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan; 3) Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan 4). Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut (vide pasal 97 (5) UUPT).

III.3. Penerapan Corporate Liability Dalam Kasus PT. Lapindo Brantas

Sebagaimana telah diketahui, PT. Lapindo Brantas Inc adalah salah satu Kontraktor Kontrak Kerja Sama dalam bentuk production share contract yang ditunjuk oleh BP MIGAS untuk melakukan pengeboran minyak dan gas bumi pada Blok Brantas, Sidoarjo, Jawa Timur. Selain PT. Lapindo Brantas Inc, paticipating interest Blok Brantas juga dimiliki oleh PT. Medco E&P Brantas (anak perusahaan dari Medco Energi) sebesar 32 % dan Santos Energi sebesar 18 %. Dikarenakan memiliki saham terbesar (50%) dalam PSC, maka Lapindo Brantas bertindak sebagai operator.

PT. Lapindo Brantas Inc adalah sebuah perusahaan yang sahamnya dimiliki oleh Kalila Energy Ltd (85%) dan Pan Asia Enterprises Ltd (15%). Sedangkan saham dari Kalila Energy Ltd dan Pan Asia Enterprises Ltd dikuasai secara mayoritas oleh PT. Energi Mega Persada, Tbk (99% per perusahaan). Sedangkan PT. Energi Mega Persada adalah sebuah perusahaan yang sahamnya dimiliki oleh PT. Bakrie & Brothers, Tbk sebesar 63,53 %, Rennier A.R. Latief sebesar 3,11%, Julianto Benhayudi 2,18%, dan publik 31,18 %. Duduk sebagai Chief Executive Officer adalah Nirwan Bakrie, yang juga adalah adik kandung Aburizal Bakrie.

Dari data yang diperoleh diatas terdapat tiga perusahaan yang berperan dalam proses drilling di blok Brantas (Brantas PSC). Ketiga perusahaan tersebut adalah PT. Lapindo Brantas Inc, PT. Medco E&P Brantas, dan Santos Energy dengan proporsi interest sebagaimana tersebut diatas. Sehingga seharusnya, tanggung jawab atas semburan lumpur panas di Sumur Banjarpanji 1, Porong, Sidoarjo, Jawa Timur.

Semburan lumpur panas Sidoarjo ini diduga terjadi akibat kelalaian dan kesalahan prosedur drilling yang mengakibatkan blow out. Terhadap kelalaian tersebut, pihak Polda Jawa Timur telah menetapkan sepuluh orang sebagai tersangka yaitu: Ir. Imam P. Agustino (GM Lapindo Brantas Inc), Aswan P. Siregar (mantan GM Lapindo Brantas), Yenny Nawawi, S.E (Direktur PT. Medici Citra Nusa – Subkontraktor drilling), Ir. Rahenold, Subie (Supervisor drilling PT. Medici), Slamet BK (staf supervisor drilling PT. Medici), serta Willem Hunila (staf pengeboran Lapindo Brantas Inc). Selain itu, Ir Edi Sutriono (staf pengeboran Lapindo Brantas Inc), Ir Nur Rohmad Sawolo (VP DSS PT Energy Mega Persada), Slamet Rianto (project manager pengeboran PT Medici Citra Nusa), Lilik Marsudi (juru bor PT Tiga Musim Mas Jaya atau TMMJ), Sulaiman bin Ali (pengawas rig PT TMMJ), dan Sarjianto (mandor pengeboran PT TMMJ). Seluruh tersangka dikenakan pasal 187, 188 KUHP jo. UUPLH.

Dalam kasus ini, kelalaian dan kesalahan prosedur drilling yang mengakibatkan terjadinya blow out dilakukan oleh orang perseorangan (staf drilling) dari sub-kontraktor Brantas PSC atas supervisi dari Lapindo Brantas selaku operator PSC. Perusahaan sub-kontraktor PSC tersebut bekerja atas perintah (kontrak) dari pemegang Brantas PSC (yang dalam hal ini diwakili oleh Lapindo Brantas Inc selaku operator PSC). Dalam hal ini, dapat dibuktikan secara sederhana, bahwa PT. Medici Citra Nusa dan PT. Tiga Mas Musim Jaya bekerja atas perintah dari Lapindo Brantas yakni berdasar kontrak sub-kontraktor.

Dalam UU No. 23/1997 sendiri telah ditentukan bahwa tuntutan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi apabila tindak pidana terhadap lingkungan hidup dilakukan oleh atau atas nama korporasi. Dengan demikian, teori yang telah diuraikan di atas dan ketentuan dalam UU No. 23/1997 tersebut pada dasarnya dapat dijadikan pertimbangan bagi aparat penegak hukum dalam menentukan pelaku tindak pidana dalam kasus lumpur panas di Kabupaten Sidoarjo tersebut, dengan tetap memperhatikan bukti-bukti yang terdapat di lapangan

Namun dalam kasus ini, PT. Medici Citra Nusa, PT. Tiga Mas Musim Jaya, dan pemegang Brantas PSC (PT. Lapindo Brantas Inc, PT. Medco E&P Brantas, dan Santos Energy) tidak dijadikan tersangka. Sepanjang pengetahuan penulis, status tersangka paling tinggi hanya dibebankan kepada Direktur Utama PT. Medici Citra Nusa, dan General Manager Lapindo Brantas. Padahal pertanggungjawaban pidana (criminal liability) dari pimpinan korporasi (factual leader) dan pemberi perintah (instrumention giver), keduanya dapat dikenakan hukuman secara berbarengan. Hukuman tersebut bukan karena perbuatan fisik atau nyatanya. Tetapi, berdasarkan fungsi yang diembannya di dalam suatu perusahaan. Hal ini juga selaras dengan ketentuan dalam UUPLH. Ketika direktur utama PT. Medici Citra Nusa ditetapkan sebagai tersangka karena perbuatannya memberikan perintah, maka seharusnya perusahaan tersebut juga dimintai pertanggungjawaban secara pidana. Demikian halnya dengan PT. Lapindo Brantas, ketika General Manager-nya ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini, maka seharusnya PT. Lapindo Brantas Inc juga diminta pertanggungjawaban secara pidana. Selain itu, perusahaan pemegang interest pada Brantas PSC selain Lapindo Brantas Inc juga dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Alasannya perusahaan participate interest tersebut juga mengambil bagian saham/interest atas pengelolaan Brantas PSC, dan mereka juga mendapatkan keuntungan atas hasil yang diberoleh dari Brantas PSC.

Selain perusahaan yang dibebani pertanggungjawaban pidana, UUPLH juga membuka kemungkinan terhadap organ-organ perseroan dapat dibebani pertanggungjawaban pidana. Hal ini sudah dilakukan oleh Polda Jawa Timur terhadap direktur utama PT. Medici Citra Nusa, namun terhadap pimpinan korporasi yang lain, seperti direksi PT. Tiga Mas Musim Jaya, direksi PT. Lapindo Brantas Inc, direksi PT. Medco E&P Brantas, direksi Santos Energy pihak penyidik cenderung tidak menjadikan mereka sebagai tersangka atas tindak pidana lingkungan. Padahal dapat diduga mereka terkait dengan tindak pidana yang terjadi sebagaimana rumusan pasal 46 UUPLH.

Dalam konteks kasus semburan lumpur panas ini misalnya, dari hasil penyidikan yang telah dilakukan, aparat penyidik Polda Jawa Timur telah menetapkan status tersangka pada 10 orang pegawai yang berkaitan, dan dari hasil penyidikan ditemukan adanya unsur kelalaian dalam kasus tersebut. Unsur kelalaian yang ditemukan adalah dalam melakukan eksplorasi, para pekerja tidak melakukan pekerjaannya secara profesional dan aman menurut kaidah-kaidah keteknikan yang baik. Demi melakukan efisiensi secara over, yang bertujuan mendapatkan keuntungan secara maksimal, para pekerja tidak mengindahkan ketentuan tentang prasyarat harus adanya casing dengan diameter dan ketebalan tertentu ketika melakukan eksplorasi.

Sementara dari analisis oleh para pakar, diduga penyebab terjadinya semburan lumpur panas ini akibat pelaksanaan kerja yang tidak aman (unsafe practices), Kekurangan-kekurangan yang dapat membahayakan jiwa (grave shorcoming), dan kekurangan-kekurangan lain yang sangat signifikan (significant flaws) sehubungan dengan pelaksanaan kerja yang menyangkut keselamatan pekerja. Dari hasil temuan dan analisis pakar tersebut diatas, timbul pertanyaan, apakah hal ini tidak diketahui oleh perseroan in casu sebagai korporasi? Jawabnya adalah ya, perseroan sebagai korporasi pasti telah mempertimbangkan dan merestui tindakan para pekerja yang melakukan tugasnya dengan tidak profesional tersebut. tujuannya demi mengejar keuntungan yang sebesar-besarnya dengan menekan biaya produksi serendah mungkin.

Pada titik inilah, diduga kuat perseroan yang bergabung dalam Brantas PSC serta perusahaan sub-kontraktornya sebagai korporasi telah melakukan kejahatan. Meskipun perbuatan diabaikannya ketentuan diatas tidak dilakukan oleh korporasi, tetapi harus dicatat bahwa tidak mungkin para pekerja tersebut melakukan pekerjaanya atas tujuan dan keinginan dirinya sendiri. Orang-orang yang bekerja di korporasi tersebut melakukan tugasnya untuk dan atas nama korporasi dan bertujuan memberikan manfaat kepada korporasi berupa keuntungan finansial ataupun keuntungan-keuntungan lainnya bagi korporasi tersebut.

Secara normatif, dengan mengetahui dan bahkan memberikan restu kepada para pekerja untuk tetap melakukan eksplorasi, korporasi telah membiarkan terjadinya suatu perbuatan yang secara nyata melanggar hukum positif yang ada, yakni membiarkan pekerja mengabaikan ketentuan tentang pelaksanaan kerja yang aman. Dan hal ini jelas bertentangan dengan ketentuan Pasal 40 ayat 1 dan 2 dan 3, Undang-undang No 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi, yang menyatakan sebagai berikut; Ayat 1, Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap menjamin standar dan mutu yang berlaku sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta menerapkan kaidah keteknikan yang baik. Ayat 2 Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap menjamin keselamatan dan kesehatan kerja serta pengelolaan lingkungan hidup dan menaati ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi. Dan ayat 3, Pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa kewajiban untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan pencemaran serta pemulihan atas terjadinya kerusakan lingkungan hidup, termasuk kewajiban pascaoperasi pertambangan.

Di lain pihak, aparat penegak hukum juga harus mempertimbangkan dampak keputusannya terhadap stakeholders dari korporasi yang bersangkutan apabila kasus lumpur panas di Kabupaten Sidoarjo diputuskan sebagai akibat kejahatan korporasi. Para pegawai, pemegang saham, kreditor dan investor yang tidak terlibat langsung dalam pengambilan keputusan atau perbuatan korporasi tersebut tentu akan turut dirugikan apabila korporasi dijatuhi sanksi pidana dan/atau tindakan tata tertib sebagaimana ditentukan dalam UU No. 23/1997 tersebut.

Namun demikian, hal tersebut tidak boleh membuat aparat penegak hukum menjadi bimbang dan ragu. Aparat penegak hukum harus berani mengambil sikap berdasarkan pertimbangan yang matang, karena bagaimanapun juga hukum harus tetap ditegakkan dengan upaya maksimal untuk memberikan keadilan bagi semua pihak.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

IV.1. Kesimpulan

Dari berbagai uraian tersebut diatas, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Bahwa korporasi dapat bertanggungjawab secara pidana (corporate crime liability). Hal ini didasarkan pada beberapa teori yang berkembang mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi. Selain itu, dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup juga telah mengadopsi prinsip vicarious liability, dan mengatur tentang pertanggungjawaban pidana oleh perseroan;

2. Bentuk pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup adalah adanya sanksi pidana denda dan tindakan tata tertib (vide pasal 45, 46, dan 47 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup). Terhadap organ-organ perseroan dapat dimintai pertanggungjawaban pidana (vide pasal 46 UUPLH);

3. Sebenarnya prinsip corporate criminal liability dapat diterapkan dalam kasus semburan lumpur panas Sidoarjo, karena seluruh unsur-unsur dalam pasal 46 UUPLH telah terpenuhi. Dan berdasar data yang diperoleh dan telah diuraikan diatas, perseroan yang bertanggungjawab ada beberapa, yaitu PT. Lapindo Brantas Inc (operator), PT. Medco E&P Brantas, Santos Energy, PT. Medici Citra Nusa dan PT. Tiga Mas Musim Jaya selaku sub-kontraktor.

Kendala yang dihadapi di lapangan adalah adanya politisasi terhadap masalah ini. Selain itu adanya pertentangan para ahli tentang penyebab semburan lumpur panas tersebut. Apakah memang karena kelalaian dan kesalahan prosedur, ataukah karena adanya kelalaian dan kesalahan prosedur ditambah adanya faktor bencana alam. Namun dari kendala-kendala tersebut, yang paling penting adalah ketiadaan niat serius dari pemerintah dalam menjerat korporasi untuk bertanggung jawab secara pidana terhadap kejahatan lingkungan hidup.

IV.2. Saran

Banjir Lumpur Panas Lapindo telah menimbulkan korban setidaknya 21 ribu jiwa lebih atau lebih dari 3.500 KK mengungsi, 11 desa dan + 350 ha lahan pertanian terendam lumpur, serta 23 bangunan sekolah dan tak kurang 20 perusahaan tutup. Lumpur lapindo telah meningkatkan angka pengangguran akibat kehilangan pekerjaan. Kejadian ini juga telah melumpuhkan transportasi jalan tol Gempol – Surabaya yang berakibat kerugian dialami perusahaan-perusahaan jasa angkutan, transportasi ekonomi lainnya. Dalam kasus semburan lumpur PT. Lapindo Brantas ini, Greenomics Indonesia memperkirakan kerugian yang harus diganti bisa mencapai angka Rp 33,27 triliun. Terdiri dari biaya penanganan sosial, pembersihan lumpur, ekologi, dampak pada pertumbuhan ekonomi, pemulihan bisnis dan ekonomi, biaya kehilangan kesempatan (jangka waktu sangat pendek) dan ketidakpastian ekonomi akibat eskalasi dampak. Kerugian tersebut masih bisa lebih besar, terutama jika terjadi eskalasi dampak turunan lebih luas lagi dalam jangka menengah dan panjang. Besarnya nilai kerugian diakibatkan karena adanya floating time (waktu yang dibiarkan mengambang atau ketidakpastian) penanganan semburan lumpur tersebut.

Karena sifat destruktif yang telah menyebabkan rusaknya ekosistem di daerah bencana semburan lumpur tersebut, maka pemerintah dalam hal ini aparat penegak hukum harus berusaha menarik dan menjerat korporasi-korporasi yang terlibat dan berperan dalam tindak pidana ini dengan mengesampingkan faktor-faktor non-yuridis, dan mengutamakan faktor yuridis.



[1] Kertas Posisi Walhi Terhadap Kasus Lumpur Panas PT. Lapindo Brantas (Sisi Hukum Kejahatan Korporasi PT. Lapindo Brantas), www. Walhi.or.id, diakses 10 April 2008;

[2] Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary: Sixth Edition, West Publishing Co., St. Paul Minnessota, Hlm. 339;

[3] Sally S. Simpson, Strategy, Structure and Corporate Crime, 4 Advances in Criminological Theory 171 (1993) dalam Nasution, Bismar, Kejahatan Korporasi dan Pertanggungjawabannya, Makalah, 2006.

[4] Rusmana, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Tindak Pidana Perikanan, www.solusihukum.com/artikel/artikel45.php

[5] Wirjono Prodjodikoro, 1980, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: Eresco, hlm. 55;

[6] Vicarious Liability adalah doktrin yang membebankan pertanggungjawaban pada seseorang atas tindakan yang dilakukan oleh orang lain semata-mata berdasarkan hubungan antara kedua orang tersebut;

[7] Brent Fisse, Rethinking Criminal Responsibility in a Corporate Society: an Accountability Model, Chapter Eighteen: Bussines Regulation and Australian’s Future, dalam Tanggung Jawab Pidana Korporasi Dalam RUU KUHP, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 2006;

[8] Charity Scott, “Caveat Vendor: Broker-Dealer Liability Under the Securities Exchange Act,” Securities Regulation Law Journal, (Vol. 17, 1989), hlm. 291, dalam Nasution, Bismar, op.cit.

[9] Black, Henry Campbell, loc.cit., hlm. 625;

Tidak ada komentar: