Selasa, 29 April 2008

ASAS-ASAS HUKUM DALAM TEORI DAN PRAKTEK

Author: Rahmat Setiabudi Sokonagoro[1]

(Hak Cipta dilindungi Undang-undang)

Dalam tinjauan terhadap berlakunya peraturan perundang-undangan, dikenal asas undang-undang yang bersifat khusus mengesampingkan adanya undang-undang yang bersifat umum. Penggunaan asas ini sudah bersifat universal. Asas-asas ini dikenal untuk mengantisipasi jika terjadi pertentangan antara dua peraturan perundang-undangan yang sederajat. Misalnya pertentangan antara undang-undang. Sebagaimana kita ketahui dalam hukum tata negara di Indonesia, dikenal adanya hak menguji materiil terhadap peraturan perundang-undangan (toetsingrecht). Hak tersebut dimiliki oleh Mahkamah Agung, untuk menguji pertentangan peraturan perundang-undangan dengan derajat di bawah undang-undang, dengan kata lain, MA berwenang untuk menguji materiil peraturan perundang-undangan dibawah undang undang. Selain MA, kewenangan untuk menguji materiil juga dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi. Hak uji materiil ini dapat dilakukan hanya jika terdapat pertentangan antara Undang-Undang dengan Konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Jadi, dalam kehidupan ketatanegaraan di Indonesia, para pembentuk undang-undang sudah mengatur mengenai permasalahan jika terjadi pertentangan horizontal antara peraturan perundang-undangan dengan derajat di bawah Undang-Undang, dan jika terjadi pertentangan antara Undang-Undang dengan Konstitusi. Namun terhadap pertentangan antar undang-undang, belum diatur menjadi kewenangan siapa hak menguji materiil tersebut.

Selama ini, jika terjadi pertentangan antar undang-undang, maka dipergunakan asas hukum antara lain lex speciali derogat legi generali, lex poresteriori derogat legi inferiori, dan lain sebagainya. Nah, permasalahan akan terjadi lagi jika ternyata Undang-Undang tersebut bersifat sektoral. Apakah terhadap hal ini dapat diberlakukan asas-asas hukum tersebut.

Mari kita tinjau terhadap asas hukum lex speciali derogat legi generali yang artinya peraturan yang bersifat khusus dikesampingkan oleh peraturan yang bersifat khusus jika pembuatnya sama. Maksud dari asas ini adalah bahwa terhadap peristiwa khusus wajib diperlakukan undang-undang yang menyebut peristiwa itu, walaupun untuk peristiwa khusus tersebut dapat pula diperlakukan undang-undang yang menyebut peristiwa yang lebih luas atau lebih umum yang dapat juga mencakup peristiwa khusus tersebut.[2]

Contoh pengakuan terhadap asas Lex specialis derogat legi generali dalam bidang hukum pidana materiil dapat kita lihat di dalam isi Pasal 103 KUHP yang menyatakan: “Ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VII buku ini berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan yang lain diancam pidana, kecuali jika oleh undangundang itu ditentukan lain”. Sedangkan dalam bidang hukum pidana formil, namapak di dalam isi Pasal 284 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ” (2) Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi. Memang benar bahwa sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) butir i Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, ”(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang: I. mengadakan penghentian penyidikan. Sebagai alasan dari penghentian penyidikan perhatikan isi

Pasal 109 ayat (2) yang menyatakan: ”(2) Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penghentian penyidikan demi hukum (Pasal 76; 77; 78 dan 79 KUHP), maka penyidik memberitahukan kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya. Memang benar sesuai dengan Pasal 14 huruf h dinyatakan bahwa Penuntut umum mempunyai wewenang: h. Menutup perkara demi kepentingan hukum Sebagai alasan dari penghentian penuntutan perhatikan isi Pasal 140 ayat (2) a. Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penunutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak piada atau perkara ditutup demi hukum penuntutan umum menuangkan dalam surat ketetapan.

Dari dua produk hukum tersebut diberikan dasar hukum untuk adanya pengaturan yang berbeda terhadap apa yang telah diatur dalam undang-undang generalisnya. Dapatlah disebut mulai dari Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undangundang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sampai dengan Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang (dalam posisi Lex specialis), kesemuanya mempunyai materi hukum pidana materiil dan hukum pidana formil) yang berbeda dengan apa yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (legi generali).

Satu lagi contoh pertentangan antara Undang-Undang yang tidak dapat diselesaikan hanya dengan mengembalikan kepada asas hukum lex speciali derogat legi generali. Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, dalam salah satu pasalnya terdapat pertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria yakni pada pasal yang mengatur tentang pemberian hak atas tanah dengan jangka waktu yang lebih lama (dalam UUPM) dibandingkan dengan jangka waktu yang diatur oleh UUPA. Padahal sudah jelas, bahwa Undang-Undang Pokok Agraria, konsepsi awalnya adalah Undang-Undang payung (umbrella act) atau Undang-undang pokok. Undang-undang ini juga bersifat sektoral, dimana terdapat dua sektor yang dapat bertentangan, yakni sektor pertanahan (Badan Pertanahan Nasional) dan sektor Investasi (Badan Koordinasi Penanaman Modal). Pengaturan masing-masing undang-undang juga tidak membuka kemungkinan untuk merujuk pada suatu aturan yang lebih khusus. Sehingga pasal yang saling bertentangan tersebut menjadi tidak dapat berlaku (invalid). Para ahli hukum juga tidak dapat mempergunakan asas lex speciali karena Undang-Undang Penanaman Modal sudah bersifat speciali / khusus. Setiap investor yang akan menanamkan modalnya di Indonesia wajib tunduk kepada aturan UUPM tersebut. Sedangkan Undang-undang Pokok Agraria dan peraturan pelaksananya juga merupakan aturan yang bersifat lex speciali pada bidang hukum pertanahan. Setiap pengurusan hak atas tanah, harus tunduk pada aturan UUPA tersebut.

Jika sudah demikian, muncul pertanyaan,siapakah yang berhak melakukan uji materiil, ataukah siapa yang dapat memberikan pendapat yang dapat dipergunakan sebagai acuan bagi para aparatur pemerintah dan investor dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan tersebut. Mahkamah Agung tidak mempunyai kewenangan, karena MA hanya berwenang untuk menguji materiil peraturan di bawah undang-undang. Sedangkan Mahkamah Konstitusi juga tidak berwenang untuk melakukan uji materiil karena kewenangan MK hanya untuk menguji materiil Undang-Undang yang bertentangan dengan Konstitusi (Vertical Judicial Review). Apakah Undang-undang tersebut harus diamandemen lagi, dirubah lagi.



[1] LL.B (School of Law, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta), LL.M Candidate (Postgraduate Program Universitas Gadjah Mada), Participant of Coursework International Trade Law and Corporate Finance Law at School of Law, South Carolina University, Associates at BER Law Firm, Jakarta;

[2] Purnadi Purbacaraka, Soerjono Soekanto. Perundang-undangan Dan Yurisprudensi, Bandung: Alumni, 1979. hal 16-17;

Peristilahan Fiksi Hukum (Fictie Hukum) Dalam Teori dan dalam Praktek

Disusun Oleh: Rahmat Setiabudi Sokonagoro[1]

(Hak Cipta dilindungi Undang-Undang)

Fictie ialah bahwa kita menerima sesuatu yang tidak benar sebagai suatu hal yang benar. Dengan perkataan lain kita menerima apa yang sebenarnya tidak ada, sebagai ada atau yang sebenarnya ada sebagai tidak ada.[2] Kata fictie itu biasanya dipakai orang, jika orang dengan sadar menerima sesuatu sebagai kebenaran, apa yang tidak benar. Fictie atau dusta yang demikian itu memegang peranan yang penting dalam hukum, dan sudah dipakai sejak dahulu.

Sebagai contoh, rakyat Romawi yang meninggal dalam tawanan dipandang meninggal sebagai budak dan menurut hukum Romawi, seorang budak tak dapat meninggalkan warisan yanjg sah. Dengan demikian maka surat wasiat yang dibuatnya sebelum ia ditawan menjadi tidak berlaku. Akan tetapi, lex cornelia (dari Sulla) menentukan bahwa bila seorang rakyat meninggal dalam tawanan perang ia seharusnya dianggap sebagai orang yang meninggal pada saat pengangkatannya, sehingga surat wasiatnya berlaku (fictio legis corneliae). Fictie tersebut yang pada mulanya hanya ditentukan untuk hukum waris kemudian dilakukan untuk segala hubungan hukum dari seorang tawanan. Rakyat Romawi yang tertangkap sebagai tawanan, yang kembali di negerinya sendiri tak pernah dianggap sebagai bekas tawanan perang. Bangsa Romawi memakai fictie sebagai alat teknik pertolongan untuk perkembangan hukum. Dalam hal tersebut, perkembangan hukum inggris memperlihatkan persamaan dengan hukum Romawi.[3]

Dalam hukum Indonesia, fiksi hukum juga diakui. Lihat pasal 3 KUH Perdata yang berbunyi “Anak yang berasal dari seorang perempuan yang hamil, dinyatakan sebagai telah lahir, sekadar kepentingannya menghendakinya. Jika ia dilahirkan mati, ia dianggap sebagai tidak pernah ada”. Fiksi-fiksi tersebut mempunyai sidat yang tak berbahaya. Bahkan lebih daripada itu, orang dapat mengatakan bahwa fiksi perundang-undangan itu bukanlah fiksi sebenarnya melainkan dirumuskan belaka sebagai fiksi.

Soal “Ignorare Legis est lata Culpa”. atau fiksi hukum yang berarti setiap orang dianggap telah mengetahui adanya suatu Undang-Undang yang telah diundangkan[4] menarik untuk diperbincangkan. Jarang kita melihat fiksi hukum itu dalam konteks waktu dan dimana kelahirannya. fiksi yang kita bicarakan ini juga harus dilihat dalam konteks ke-Indonesiaan.

Dalam Sejarah Hukum di Eropa daratan, hukum itu lahir dari kontrak sosial, kontrak sosial adalah metamorfosa dari kontrak-kontrak ekonomi masyarakat merkantilis. jadi ia lahir dari ranahnya hukum privat. Baru abad 18 dengan gejala industrialisasi munculah Negara Modern. Negara modern mensyaratkan adanya generalitas dalam sistem hukum yang bersifat publik. Untuk memenuhi generalitas itulah semua orang yang berada dalam satu wilayah negara harus tunduk pada suatu hukum yang dibikin oleh bandan publik. hal itu memberi manfaat agar institusi publik menjadi kuat.

Lalu bagaimana kira-kira bila dibandingkan dengan konteks Indonesia? Pertama, soal geografis adalah pembeda yang paling tajam antara NKRI dengan Negara-negara Eropa daratan yang relatif kecil. Pembeda kedua adalah Identifikasi Sosial masyarakat yang beragam berdasarkan suku dan penerimaannya terhadap hukum negara.

Hal lain yang perlu diperhitungkan adalah bagaimana proses legal making di ruang legislator. Misalnya, apakah pembuatan UU yang berkaitan dengan pertambangan melibatkan masyarakat adat atau aspirasi masyarakat yang jauh dari pusat kekuasaan, seperti Papua dst. Soal akses masyarakat terhadap pembentukan UU itu satu hal saja. hal lain yaitu bagaimana sosialisasi pemerintah terhadap UU yang telah diundangkan. Apakah dengan hanya perintah untuk ditempatkan dalam Lembaran Negara, Tambahan Berita Negara, Lembaran Daerah, dll, dapat menjamin masyarakat mengetahui adanya peraturan yang diundangkan tersebut.

Dalam prakteknya, banyak masyarakat yang tidak mengerti bahkan tidak mengetahui adanya peraturan perundang-undangan yang baru. Permasalahan timbul ketika banyak warga masyarakat melakukan pelanggaran terhadap aturan tersebut, karena ketidak tahuannya bahwa perbuatan yang dilakukan tersebut dilarang oleh peraturan perundang-undangan. Luasnya daerah geografis negara Indonesia, buruknya akses masyarakat kepada pemerintahan, keterbelakangan wilayah, membuat tidak seluruh peraturan perundang-undangan tersebut dapat diketahui oleh masyarakat hanya dengan perintah pencantuman ke dalam Lembaran Negara, Tambahan Berita Negara, dll. Ketidak mampuan pemerintah dan aparaturnya dalam mensosialisasikan peraturan-peraturan yang baru dibentuk dan baru diundangkan juga menjadi salah satu sebab ketidak tahuan masyarakat terhadap peraturan perundang-undangan. Seharusnya, sebelum mempergunakan fiksi hukum ini, pemerintah wajib melakukan sosialisasi secara maksimal, sehingga paling tidak, 85 % masyarakat dapat mengetahuinya dan kemudian mematuhi peraturan tersebut.

Jadi fiksi perundang-undangan itu sebenarnya bukanlah tidak dapat dibuang. Akan tetapi bahwa ia sering dipakai terutama dapat dipahami dari sudut hasrat pembentuk undang-undang untuk memperoleh perumusan yang singkat. Adakalanya juga pembentuk undang-undang memakai fiksi, padahal pemakaian fiksi itu dapat dihindarinya. Hukum yang tugasnya mengatur kehidupan masyarakat sebenarnya tidak boleh dijelmakan dalam peraturan-peraturan yang dalamperumusannya jelas bertentangan dengan kenyataan. Adalah kewajiban ajaran hukum untuk sebanyak mungkin mengeluarkan fiksi dari perundang-undangan, dengan kata lain, mempersiapkan peraturan-peraturan yang sederhana.

Sebenarnya pemakaian fiksi hukum dalam perundang-undangan dan dalam ajaran hukum menyebabkan kerugian yang besar. Pemakaian fiksi hukum tersebut mengakibatkan kebiasaan para ahli hukum memakai fiksi dengan tidak semestinya. Karena dalam Undang-undang dan dalam literatur yang bersifat ilmu pengetahuan hukum, ahli hukum seringkali mempergunakan fiksi. Akhirnya ahli hukum, karena terbiasa dengan penggunaan fiksi hukum tersebut, menjadi sangat lancar mempergunakannya. Itulah sebabnya, fiksi hukum memegang peranan juga dalam pengadilan dan terkadang memegang peran yang sangat berbahaya. Untuk hakim, fiksi adalah alat yang memikat, karena fiksi memberikan hakim kemampuan untuk mencapai suatu keadaan yang diinginkannya. Dengan fiksi, kita dapat menghitamkan yang putih maupun sebaliknya. Hal itu membahayakan dalam proses menemukan kebenaran dan keadilan. Misalnya dalam persangkaan. Persangkaan harus dipisahkan dari fiksi. Fiksi adalah ketidak benaran suatu ciptaan saja, persangkaan mungkin benar, mungkin tidak. Peranan yang penting yang dipegang oleh persangkaan ini tidak akan ditinjau lebih lanjut.



[1] LL.B (School of Law, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta), LL.M Candidate (Postgraduate Program Universitas Gadjah Mada), Participant of Coursework International Trade Law and Corporate Finance Law at School of Law, South Carolina University, Associates at BER Law Firm, Jakarta;

[2] Appledoorn, L.J. Van, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 2001.

[3] Ibid.

[4] A. Siti Soetami, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2005.

MENGGALI MAKNA PERISTILAHAN HUKUM

DALAM BAHASA HUKUM INDONESIA

Disusun Oleh:
Rahmat Setiabudi Sokonagoro, Khotibul Umam,

Afra Roki, Chandra Dewi Puspitasari, Sri Widiyastuti

A. LATAR BELAKANG

Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini menunjukkan bahwa hukum merupakan elemen penting adanya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Supremasi hukum merupakan suatu keniscayaan agar jalannya pemerintahan bernegara berada dalam koridor hukum.

Seperti kita ketahui bersama bahwa hukum di Indonesia masih banyak yang materinya berasal dari hukum peninggalan Belanda, dimana hal ini mendapatkan pijakan yang kokoh secara hukum melalui Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang menyatakan bahwa segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini. Secara faktual hingga saat ini juga masih banyak dijumpai lembaga-lembaga hukum peninggalan Belanda yang dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari, baik pada sektor legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Dalam bahasa sehari-hari pun sering kita dengar masih familiarnya penggunaan istilah-istilah tentang hukum, baik oleh praktisi hukum maupun masyarakat awam. Walaupun demikian terkadang dalam penggunaannya kurang sesuai dengan makna dari istilah yang bersangkutan diukur dari kacamata teori-teori ilmu pengetahuan.

Peristilahan hukum yang muncul saat ini, ternyata tidak hanya peristilahan hukum dari bahasa Belanda, beberapa dari bahasa lain baik dari negara-negara Eropa Kontinental, Anglo Saxon, bahkan perkembangan terbaru banyak muncul peristilahan dari bahasa Arab yang lebih banyak dipraktikkan dalam Hukum Lembaga Keuangan. Istilah hukum sendiri sebenarnya berasal dari Bahasa Arab hukm, yang kemudian telah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi hukum, termasuk juga istilah keadilan dan kemanfaatan.

Contoh peristilahan dari bahasa Belanda yang masih perlu dipertanyakan kebenarannya misalnya setiap orang dianggap tahu undang-undang atau yang lebih dikenal dengan fictie hukum, lebih baik tidak menghukum orang yang bersalah daripada menghukum orang yang tidak bersalah, tegakkanlah hukum meskipun langit akan runtuh (fiat justicia roat coelum), lex specialis derogat legi generali, putusan hakim selalu dianggap benar (res judicata pro veritate habetur) dan sebagainya. Sementara dari Anglo Saxon System dikenal adanya istilah Memorandum of Understanding (MoU) yang dalam realitas empiris sering dipersamakan dengan perjanjian. Kemudian peristilahan dari bahasa Arab yang saat ini ada di masyarakat khusunya di bidang hukum ekonomi dan keuangan misalnya mengenai pembiayaan mudharabah, pembiayaan murabahah, pembiayaan musyarakah, pembiayaan qardh, riba, dan sebagainya.

Beberapa peristilahan tersebut jika ditinjau makna dan penggunaannya sering kali kurang tepat, sukar diterapkan, dan beberapa menjadi tidak logis serta cenderung hiperbolis. Penggunaan yang tidak tepat misalnya penyamaan antara MoU dengan perjanjian, sementara istilah yang sukar penerapannya misalnya adagium lex specialis derogat legi generali, dan penggunaan istilah yang tidak logis dan hiperbolis misalnya hukum harus ditegakkan meskipun langit runtuh (fiat justitia roat coelum).

Penggunaan-penggunaan istilah dimaksud ada yang tepat ketika diimplementasikan dalam realitas praktik, pun beberapa dirasa kurang tepat terutama jika ditinjau dari teori kebenaran dan teori keadilan. Kebenaran dan keadilan merupakan unsur yang hendak dituju oleh hukum. Oleh karena itu ketika berbicara tentang hukum orientasi kita adalah pada kebenaran dan keadilan.

Berbicara mengenai istilah atau peristilahan berarti kita masuk pembahasan mengenai bahasa, lebih khusus lagi dalam konteks ini adalah bahasa hukum. Sementara ketika kita hendak menggali maknanya kita akan masuk ke ranah filsafat ilmu, dan untuk mencari kebenaran dari istilah dan penggunaannya kita akan menggunakan teori kebenaran. Setelah itu untuk mengetahui dampak dari penggunaan istilah tertentu kita akan menggunakan teori keadilan.

Menurut Kusumadi Pudjosewojo bahwa bahasa hukum Indonesia masih mencari gayanya sendiri. Istilah-istilahnya masih belum tetap dan sebagian besar masih merupakan terjemahan belaka dari istilah hukum Belanda. Dengan demikian istilah atau kalimat Indonesia itu masih mencerminkan pengertian hukum Belanda dan alam pikiran hukum Belanda. Lanjut Beliau bahwa bahasa hukum berlainan daripada bahasa sehari-hari atau bahasa kesusasteraan.[1]

Karakteristik bahasa hukum Indonesia selain terletak pada komposisi, dan gaya bahasa yang khusus dengan kandungan arti yang khusus, juga terletak pada istilah-istilah yang dipakai.[2] Hal ini disebabkan dalam merumuskan, menyusun, menjabarkan ketentuan-ketentuan hukum para ahli hukum demi kepentingan hukum itu sendiri perlu menggunakan kata, istilah atau ungkapan-ungkapan yang jelas, teliti, pasti, seragam, dan bersistem.

Kamus Bahasa Indonesia sendiri tidak memuat secara defenitif mengenai pengertian istilah tersebut, tetapi dalam buku yang berjudul Bahasa Hukum Indonesia yang disusun oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional dapat diambil kesimpulan bahwa istilah merupakan satu atau beberapa kata yang digunakan untuk mengungkapkan sebuah konsep. Mengingat istilah ini dalam konteks istilah hukum, maka konsep yang diungkapkan tesebut merupakan sebuah konsep tentang hukum. Sehingga, dapat dikatakan bahwa istilah hukum adalah satu atau beberapa kata yang dipergunakan untuk mengungkapkan sebuah konsep hukum.

Dalam filsafat ilmu dipertanyakan mengenai apakah ilmu bebas nilai ataukah tidak dan jawaban atas pertanyaan tersebut dapat membawa perdebatan panjang namun hakikat ilmu tidaklah bebas nilai. Satu hal yang ingin dihindari oleh kebanyakan ilmuwan namun kehadirannya sulit untuk di tolak adalah kekuasaan. Kekuasaan memainkan peran besar dalam perkembangan ilmu – baik secara langsung maupun tidak – karena para ilmuwan sulit untuk memancangkan bendera otonomi ilmiah di dalam suatu negara yang meletakkan kekuasaan sebagai faktor yang dominan dalam mengambil suatu kebijakan. Kemungkinan timbulnya konflik kepentingan antara ke dua belah pihak-ilmuwan dengan klaim kebenaran (truth claim-nya) berpeluang untuk terjadi.[3]

Bidang dari filsafat ilmu yang membicarakan ukuran benar atau tidaknya pengetahuan yaitu Epistemologi yang secara etimologis berarti teori pengetahuan. Adapun obyek material dari epistemologi adalah pengetahuan, sedangkan obyek formalnya adalah hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri. Dengan demikian epistemologi sangat berguna bagi upaya untuk menganalisis kebenaran dari suatu obyek, yang dalam hal ini adalah peristilahan hukum.

Sementara dengan menggunakan analisis teori kebenaran, maka akan dipakai teori kebenaran korespondensi, teori kebanaran koherensi, dan teori kebenaran pragmatis. Kemudian karena dalam penggunaan peristilahan tertentu sering kali berdampak pada unsur esensial dari hukum yaitu keadilan, maka teori keadilan juga akan menjadi pisau analisis beberapa peristilahan hukum tertentu, seperti adanya fiksi hukum bahwa setiap orang dianggap tahu hukumnya dan ketidaktahuan terhadap hukum bukan merupakan alasan pemaaf.

Era reformasi membawa banyak perubahan demikian juga dalam pola pemakaian bahasa dan pemilihan istilah, misalnya semakin banyaknya istilah hukum dan lembaga hukum dari negara lain yang masuk dan digunakan dalam praktik hukum di Indonesia.

Dengan demikian akhir-akhir ini makin dirasakan betapa pentingnya fungsi bahasa sebagai media komunikasi. Pada kenyataannya dewasa ini, selain ahli-ahli bahasa semua ahli yang bergerak dalam bidang pengetahuan semakin memperdalam dirinya dalam mempelajari teori dan praktik bahasa.

Bahasa dan hukum merupakan satu kesatuan. Bahasa hukum harus memenuhi syarat-syarat serta kaidah-kaidah bahasa karena bahasa hukum mempunyai karakteristik tersendiri yang menyebabkan sulitnya masyarakat untuk memahaminya. Rumitnya struktur bahasa hukum ini dipengaruhi oleh bahasa-bahasa asing terutama bahasa Belanda dan juga kurangnya pengetahuan dari pembuat undang-undang akan tata bahasa Indonesia sendiri. Di samping itu juga karena masih adanya anggapan-anggapan bahwa dunia hukum itu terlalu formal dan kompleks serta adanya ketidakpercayaan terhadap hukum pada umumnya.[4]

Berdasarkan pada pemaparan di atas, maka Penulis mempunyai ketertarikan untuk membahas mengenai peristilahan hukum dalam konteks bahasa hukum Indonesia, sehingga makalah ini Penulis beri judul “Menggali Makna Peristilahan Hukum dalam Bahasa Hukum Nasional”.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut di atas, maka berbagai masalah dapat dirumuskan antara lain sebagai berikut:

1. Bagaimana pemaknaan peristilahan hukum dalam praktik di masyarakat?

2. Bagaimana jika pemaknaan dimaksud di tinjau dari teori kebenaran dan teori keadilan?

C. PEMBAHASAN

1. Peristilahan Hukum dalam Praktik di Masyarakat

Bahasa, Bahasa Hukum, dan Bahasa Hukum Indonesia

Bahasa adalah kata-kata yang digunakan sebagai alat bagi manusia untuk menyatakan atau melukiskan suatu kehendak, perasaan, fikiran, pengalaman, terutama dalam hubungannya dengan manusia lain.[5] Bahasa memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat. Sering dikatakan pula bahwa bahasa merupakan penjelmaan dari kehidupan manusia dalam masyarakat. Dalam pergaulan manusia bahasa menjadi alat penghubung yang mampu menyampaikan berbagai pesan. Pesan yang disampaikan tersebut berupa simbol-simbol kebahasaan.

Sudjito mengungkapkan bahwa diantara simbol-simbol tersebut ada yang berbentuk kata-kata (lisan), ada yang berbentuk tulisan, dan ada pula yang berbentuk perlambang. Rangkaian dari simbol-simbol itulah yang kemudian menjadikan sebuah bahasa terbentuk dan mempunyai makna. Hanya dengan bahasa dan melalui bahasa proses pengenalan dan proses komunikasi dapat berlangsung.[6]

Jika dilihat dari sejarah pertumbuhan bahasa sejak awal hingga sekarang, maka fungsi bahasa secara garis besarnya adalah sebagai berikut :[7]

1) Untuk menyatakan ekspresi diri

Sebagai alat untuk menyatakan ekspresi diri secara terbuka segala sesuatu yang tersirat dalam diri manusia, sekurang-kurangnya memaklumkan keberadaannya.

2) Sebagai alat komunikasi

Sebagai alat komunikasi, bahasa merupakan saluran perumusan maksud kita, melahirkan perasaan dan memungkinkan manusia menciptakan kerja sama sesama warga.

3) Sebagai alat menyatakan integrasi dan adaptasi sosial

Disamping sebagai salah satu unsur kebudayaan, dengan bahasa memungkinkan pula bagi manusia memanfaatkan pengalaman-pengalaman mereka, mempelajari dan mengambil bagian dalam pengalaman-pengalaman tersebut, serta belajar berkenalan dengan anggota masyarakat, dapat mempelajari dan mengenal segala adat istiadat, tingkah laku dan tata krama masyarakat lain.

4) Sebagai alat untuk melakukan kontrol sosial

Kontrol sosial maksudnya adalah usaha untuk mempengaruhi tingkah laku dan tindak tanduk orang-orang lain. Tingkah laku itu dapat bersifat terbuka (overt yaitu tingkah laku yang dapat diamati atau diobservasi), maupun yang bersifat tertutup (covert yaitu tingkah laku yang tidak dapat diobservasi). Seluruh kegiatan sosial akan berjalan dengan baik karena dapat diatur dengan menggunakan bahasa. Dalam mengadakan kontrol sosial, bahasa mempunyai hubungan dengan proses-proses sosialisasi suatu masyarakat.

Berkaitan dengan fungsi bahasa secara umum, maka melalui bahasa pula penggalian, penguasaan dan penyebaran ilmu pengetahuan dapat menjadi lebih efektif. Bahasa yang dipelajari dan dipakai dalam dunia ilmu pengetahuan adalah bahasa ilmiah atau bahasa keilmuan. Bahasa ilmiah mempunyai ciri-ciri dan sifat-sifat sebagaimana dikemukakan Anton M. Moeliono:[8]

1) Lugas dan eksak karena menghindari kesamaran dan ketaksaan;

2) Obyektif dan menekan prasangka pribadi;

3) Memberikan definisi yang cermat tentang nama, sifat dan kategori yang diselidikinya untuk menghindari kesimpangsiuran;

4) Tidak beremosi dan menjauhi tafsiran yang bersensasi;

5) Cenderung membakukan makna kata-katanya, ungkapannya dan gaya paparannya berdasarkan konvensi.

6) Tidak dogmatik atau fanatik;

7) Bercorak hemat, hanya kata yang diperlukan yang dipakai;

8) Bentuk, makna dan fungsinya lebih mantap dan stabil daripada yang dimiliki kata biasa.

Bahasa dan hukum memiliki kaitan yang erat. Hal tersebut dapat diketahui dengan mengacu pada pendapat Sutan Takdir Alisyahbana yang dikutip Harkristuti Harkrisnowo bahwa baik bahasa maupun hukum merupakan penjelasan kehidupan manusia dalam masyarakat dan merupakan sebagian dari penjelmaan suatu kebudayaan pada suatu tempat dan waktu. Bahasa dan hukum itu saling berhubungan, saling pengaruh, malahan dianggap sebagai penjelmaan masyarakat dan kebudayaan, yang sebaliknya pula dipengaruhi baik oleh bahasa maupun oleh hukum. [9] Dengan kata lain, ada hubungan yang erat antara bahasa dan hukum. Sebagaimana diketahui bahwa hukum merupakan salah satu sarana untuk menciptakan keteraturan dan ketertiban sosial masyarakat. Ketentuan hukum tersebut utamanya dirumuskan melalui bahasa, khususnya bahasa hukum.

Bahasa hukum adalah bahasa (kata-kata) yang digunakan untuk merumuskan dan menyatakan hukum dalam suatu masyarakat tertentu.[10] Hukum hanya dapat berjalan efektif manakala ia dirumuskan melalui bahasa hukum dengan tegas dan mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam suatu masyarakat, dan harus dapat dikomunikasikan dengan baik pada subyek-subyek hukum yang dituju.

Sebagai ilmu, bahasa hukum mempunyai obyek, metode dan tujuan tertentu. Obyek garapan bahasa hukum adalah berupa tanda-tanda kebahasaan yang biasa digunakan dalam hukum, meliputi bahasa verbal (lisan), bahasa visual (tulisan), gerak/isyarat, benda-benda, dan warna tertentu. Ciri khas bahasa hukum sebagai pengetahuan keilmuan terletak pada landasan ontologis yang mengacu pada obyek garapan dan apa yang ingin diketahui dari kajian terhadap obyek tersebut, landasan epistemologis yang menentukan metode yang dipakai untuk memperoleh dan menggarap obyek yang ditentukan, sehingga hasil garapan tersebut mempunyai makna dan landasan aksiologis yang menelaah tujuan dari segenap aktivitas keilmuan dan pemanfaatannya.[11]

Secara garis besar penggarapan metode pengolahan tanda-tanda kebahasaan itu dapat dilakukan dengan dua cara yaitu menyusun, merangkai, atau mengorganisisr tanda-tanda kebahasaan tersebut sehingga terwujud sebuah susunan atau bangunan baru yang punya struktur sehingga bisa disebut sebagai bahasa hukum dan berusaha menafsirkan (menangkap atau mencari makna) yang terkandung pada tanda-tanda kebahasaan yang telah ada dan hadir dihadapan kita, sehingga kita tahu persis mengenai tujuan dan kemanfaatannya, baik bagi diri sendiri maupun orang lain, dalam konteks asal dan aslinya maupun dalam konteks keperluan penafsirnya. Sedangkan tujuan bahasa hukum adalah menyampaikan pesan tentang kebenaran dan keadilan dari subyek yang menggarap tanda-tanda kebahasaan kepada subyek lain.[12]

Simposium bahasa dan hukum tahun 1974 yang diselenggarakan Badan Pembinaan Hukum Nasional menghasilkan rumusan mengenai apa yang dimaksud dengan bahasa hukum Indonesia. Bahasa hukum Indonesia merupakan bahasa Indonesia yang dipergunakan dalam bidang hukum, yang mengingat fungsinya mempunyai karakteristik sendiri, oleh karena itu bahasa hukum Indonesia haruslah memenuhi syarat-syarat dan kaedah-kaedah bahasa Indonesia.[13] Jadi, dapat dikatakan bahwa bahasa hukum Indonesia sebenarnya merupakan bagian dari bahasa Indonesia.

Bahasa hukum adalah bahasa aturan dan peraturan yang bertujuan untuk mewujudkan ketertiban dan keadilan, untuk mempertahankan kepentingan umum dan kepentingan pribadi di dalam masyarakat. Namun dikarenakan bahasa hukum adalah bagian dari bahasa Indonesia yang modern, maka dalam penggunaannya ia harus tetap, terang, monosemantik dan memenuhi syarat estetika bahasa Indonesia.[14] Sebagai bagian dari bahasa Indonesia, bahasa hukum selayaknya juga mengikuti kaidah bahasa Indonesia secara umum. Hal tersebut dimaksudkan supaya tidak membuka peluang interpretasi ganda. Hal yang disebut terakhir ini sangat penting untuk menghindari agar kepastian hukum dapat dijamin.

Sebagian besar masyarakat masih merasa bahwa bahasa hukum kita merupakan bahasa yang sulit dimengerti atau sulit dipahami. Hal tersebut dapat saja terjadi karena bahasa hukum memiliki karakteristik tersendiri yaitu yang terletak pada istilah-istilah, komposisi, serta gaya bahasanya yang khusus dan kandungan artinya yang khusus pula.

Selain sulit dimengerti atau sulit dipahami, bahasa Indonesia yang dipakai dalam dunia hukum ternyata seringkali tidak berhasil memancarkan kandungan atau isi hukum dengan baik, sehingga mengakibatkan seseorang menemui kesulitan menangkap makna hukum dalam sebuah perjanjian atau peraturan.[15] Bahasa hukum Indonesia yang masih dipergunakan hingga saat ini semantik[16] katanya masih belum baik, sehingga terkadang ditemukan istilah-istilah yang tidak tetap dan kurang jelas.

Jika melihat kembali pada fungsi dasar bahasa yaitu sebagai alat menyampaikan pesan dan tujuan bahasa hukum yaitu menyampaikan kebenaran dan keadilan, maka bahasa hukum Indonesia masih memiliki kekurangsempurnaan, khususnya dalam semantik kata (pemaknaan kata). Nampaknya memang tidak ada salahnya apabila mulai sekarang bahasa hukum dibuat lebih sederhana, tidak menimbulkan multiinterpretasi, sehingga tidak menimbulkan kebingungan masyarakat awam, baik dalam pemaknaan maupun penerapan.

Teori Kebenaran dan Teori Keadilan

Pengetahuan dipandang dari jenis pengetahuan yang dibangun dapat dibedakan sebagai berikut:[17]

1) Pengetahuan biasa (ordinary knowledge/Common Sense Knowledge). Pengertian seperti ini bersifat subyektif, artinya amat terikat pada subyek yang mengenal. Dengan demikian pengetahuan jenis pertama ini memiliki sifat yang selalu benar, sejauh sarana untuk memperoleh pengetahuan itu bersifat normal atau tidak ada penyimpangan.

2) Pengetahuan ilmiah, yaitu pengetahuan yang telah menetapkn obyek yang khas atau spesifik dengan menerapkan pendekatan metodologis yang khas pula, artinya metodologi yang telah mendapatkan kesepakatan di antara para ahli yang sejenis. Kebenaran yang terkandung dalam pengetahuan ilmiah bersifat relatif, karena kandungan jenis pengetahuan ilmiah selalu mendapatkan revisi dan diperkaya oleh hasil penemuan yang paling mutakhir. Dengan demikian, kebenaran dalam pengetahuan ilmiah selalu mengalami pembaharuan sesuai dengan hasil penelitian yang paling akhir dan mendapatkan persetujuan (agreement) oleh para ilmuwan sejenis.

3) Pengetahuan filsafati, yaitu jenis pengetahuan yang pendekatannya melalui metodologi pemikiran filsafati. Sifat pengetahuan ini mendasarkan dan menyeluruh dengan model pemikiran yang analitis, kritis, dan spekulatif. Sifat kebenarannya adalah absolut-intersubjektif. Maksudnya ialah nilai kebenaran yang terkandung pada jenis pengetahuan filsafat selalu merupakan pendapat yang selalu melekat pada pandangan dari seorang filsuf serta selalu mendapat pembenaran dan filsuf kemudian yang menggunakan metodologi pemikiran yang sama pula.

4) Pengetahuan agama, yaitu jenis pengetahuan yang didasarkan pada keyakinan dan ajaran agama tertentu. Pengetahuan agama memiliki sifat dogmatis, artinya pernyataan dalam suatu agama selalu didasarkan pada keyakinan yang telah tertentu, sehingga pernyataan-pernyataan dalam ayat-ayat kitab suci agama memiliki nilai kebenaran sesuai dengan keyakinan yang digunakan untuk memahaminya itu. Implikasi makna dari kandungan kitab suci itu dapat berkembang secara dinamik sesuai dengan perkembangan waktu, akan tetapi kandungan dimaksud dari ayat kitab suci itu tidak dapat dirubah dan sifatnya absolut.

Dengan demikian sebuah pengetahuan memiliki kadar kebenaran yang berbeda-beda, berdasarkan pada pengklasifikasian di atas maka hanya pengetahuan agama yang nilai kebenarannya bersifat absolut, karena berasal dari yang Maha Benar. Sementara untuk pengetahuan jenis lain memiliki kebenaran yang sifatnya relatif. Untuk pengetahuan yang sifat kebenarannya relatif ini perlu ditinjau dan dianalisis melalui perangkat tertentu untuk mendapatkan kebenaran yang dituju. Adapun teori yang berbicara mengenai kebenaran antara lain adalah sebagai berikut:

(1) Teori kebenaran korespondensi, yaitu bahwa sesuatu dianggap benar jika ada kesesuaian dengan fakta empiris, dalam artian bisa ditangkap oleh panca indra.

(2) Teori kebenaran koherensi, yaitu menyatakan bahwa suatu pernyataan dianggap benar manakala berhubungan dengan pernyataan sebelumnya sehingga ada pernyataan berkesinambungan dan terjaga konsistensinya.

(3) Teori kebenaran pragmatis, teori ini menyatakan bahwa suatu pengetahuan dianggap benar manakala hal tertentu itu bermanfaat secara praktis bagi dirinya sendiri.

Unsur berikutnya yang dituju oleh hukum, termasuk bahasa hukum sebagai bagian dari ilmu hukum adalah keadilan. Mengenai keadilan ini mengalami perkembangan dari masa ke masa, bahwa adil bagi orang atau kelompok tertentu belum tentu dirasa adil bagi orang atau kelompok lain. Ukuran keadilan menjadi relatif ketika dihadapkan pada peristiwa konkrit.

Hukum sangat erat hubungannya dengan keadilan. Bahkan ada orang yang berpandangan bahwa hukum harus digabungkan dengan keadilan, supaya sungguh-sungguh berarti sebagai hukum. Pernyataan ini ada sangkut pautnya dengan tanggapan bahwa hukum merupakan bagian usaha manusia menciptakan suatu ko-eksistensi etis di dunia ini. Hanya melalui suatu tata hukum yang adil orang-orang dapat hidup dengan damai menuju suatu kesejahteraan jasmani maupun rohani.[18]

Arsitoteles dalam The Ethics of Aristoteles, terjemahan J.A.K Thomson, yang disunting oleh S. Tasrif, menyatakan bahwa bila orang berbicara tentang keadilan, yang mereka anggap secara pasti adalah adanya suatu keadaan pikiran yang mendorong mereka untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang adil, untuk bersikap secara adil, dan untuk tidak menginginkan hal yang tidak adil.[19]

Aristoteles juga membedakan adanya dua macam keadilan, yaitu justitia distributiva dan justitia commutativa. Justitia distributiva menuntut bahwa setiap orang mendapat apa yang menjadi hak atau jatahnya, sedangkan justitia commutativa memberi kepada setiap orang sama banyaknya.[20]

Menurut Tasrif, ada empat syarat minimum agar keadilan mendapat pernyataannya, yaitu: Pertama, yang adil itu adalah sekaligus tengah-tengah dan kesebandingan. Kedua, dalam sifatnya sebagai tengah-tengah, ia harus mempunyai dua ujung, dan diantara kedua ujung itu ia berada. Ketiga, dalam sifatnya sebagai yang sebanding dari apa yang dibagi. Keempat, dalam sifatnya sebagai yang adil, harus ada orang-orang tertentu untuk siapa hal itu adil.[21]

Jadi, pengertian adil itu menurut Tasrif adalah kebajikan yang sempurna karena ia melaksanakan kebajikan yang sempurna, yaitu bahwa orang yang memiliki keadilan itu mampu menerapkannya terhadap pihak lain dan bukan hanya dalam keadaan yang mengenai dirinya sendiri.

2. Pemaknaan Peristilahan Hukum Ditinjau dari Teori Kebenaran dan Teori Keadilan

Penggunaan peristilahan hukum terutama yang berasal dari istilah asing sebagaimana telah disebut pada bagian sebelumnya sering kali tidak tepat ditinjau dari maknanya, dan dampaknya ketika istilah itu digunakan dalam praktik hukum di masyarakat. Pada bagian ini akan dikemukakan beberapa istilah hukum yang ditinjau dari dua pisau analisis yaitu teori kebenaran dan teori keadilan. Beberapa istilah hukum yang akan dianalisis pada bagian ini adalah mengenai Memorandum of Understanding (MoU), teori fiksi hukum, dan adagium hukum yaitu lex specialis derogat legi generali.

Pertama, Istilah Memorandum of Understanding berasal dari dua kata, yaitu memorandum dan understanding. Dalam Black’s Law Dictionary diartikan memorandum adalah “dasar untuk memulai penyusunan kontrak secara formal pada masa datang” (is to serve as the basis of future formal contract). Sedangkan understanding diartikan sebagai “pernyataan persetujuan secara tidak langsung terhadap hubungannya dengan persetujuan lain, baik secara lisan maupun secara tertulis” (an implied agreement resulting from the express term of another agreement, whether written or oral).[22]

Sehingga dirumuskan pengertian MoU adalah dasar penyusunan kontrak pada masa datang yang didasarkan pada hasil permufakatan para pihak, baik secara tertulis maupun lisan. Secara gramatikal MoU biasa diartikan sebagai nota kesepahaman.[23]

Beberapa pendapat memberi arti yang berbeda pula tentang MoU, misalnya Munir Fuady mengartikan MoU adalah “perjanjian pendahuluan, dalam arti nantinya akan diikuti dan dijabarkan dalam perjanjian lain yang mengaturnya secara detail, karena itu MoU berisikan hal-hal yang pokok saja. Adapun mengenai lain-lain aspek dari MoU relatif sama dengan perjanjian-perjanjian lain”.[24]

Erman Rajagukguk mengartikan MoU sebagai “dokumen yang memuat saling pengertian di antara para pihak sebelum perjanjian dibuat. Isi dari MoU harus dimasukkan ke dalam kontrak, sehingga ia mempunyai kekuatan mengikat”.[25]

Sehingga dari keseluruhan pengertian tersebut dapat disimpulkan unsur-unsur MoU, yaitu: bersifat sebagai perjanjian pendahuluan, dibuat oleh para pihak yang merupakan subjek hukum, wilayah keberlakuan yang bisa meliputi regional, nasional, maupun internasional, substansi MoU adalah kerjasama dalam berbagai aspek, Jangka waktunya tertentu.[26]

MoU sebenarnya tidak dikenal dalam hukum Indonesia, tetapi sering dipergunakan dalam praktik. MoU dianggap sebagai kontrak yang simpel dan tidak disusun secara formal, serta dianggap sebagai pembuka suatu kesepakatan.[27]

Dalam berbagai peraturan perundang-undangan tidak ditemukan ketentuan yang khusus mengatur tentang MoU, namun bila diperhatikan substansi dari MoU sebagai perjanjian pendahuluan, maka dapat disimpulkan bahwa MoU tunduk pada ketentuan perikatan pada umumnya dalam Buku III KUH Perdata. Misalnya ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat sahnya perjanjian, karena bagaimanapun ada unsur kesepakatan dalam pembuatan MoU. Selain itu dapat pula dilihat dalam Pasal 1338 KUH Perdata yaitu bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.[28]

MoU dibuat dengan memiliki tujuan-tujuan tertentu antara lain, yaitu sebagai berikut:

a. Untuk menghindari kesulitan pembatalan suatu agreement nantinya, dalam hal prospek bisnisnya belum jelas benar, dan apakah kerjasama selanjutnya akan ditindaklanjuti, sehingga dibuatlah MoU yang mudah dibatalkan.

b. Penandatanganan kontrak masih lama karena masih dilakukan negosiasi yang alot. Karena itu, daripada tidak ada ikatan apa-apa sebelum ditandatanganinya kontrak tersebut, maka dibuatlah MoU yang akan berlaku sementara waktu.

c. Adanya keraguan para pihak dan masih perlu waktu untuk pikir-pikir dalam hal penandatanganan suatu kontrak, sehingga untuk sementara dibuatlah MoU.

d. MoU dibuat dan ditandatangani oleh pihak eksekutif teras dari suatu perusahaan, sehingga untuk suatu perjanjian yang lebih rinci harus dirancang dan dinegosiasi khusus oleh staf yang lebih rendah namun lebih menguasai secara teknis.[29]

Mengingat substansi MoU di mana adanya kesepakatan kehendak untuk membuatnya, maka dikatakan MoU mempunyai kekuatan mengikat untuk dilaksanakan layaknya sebuah perjanjian pada umumnya. Akan tetapi bila salah satu pihak tidak memenuhi isi memorandum, pihak lain tidak mempersoalkan hal tersebut. Sehingga para ahli pun belum memiliki jawaban yang pasti tentang kekuatan mengikat MoU.

Ray Wijaya mengemukakan pendapatnya tentang kekuatan mengikat MoU tersebut yaitu bahwa pertama, MoU hanya merupakan suatu gentlement agreement yang tidak mempunyai akibat hukum, dan kedua, MoU merupakan suatu bukti awal telah terjadi atau tercapai saling pengertian mengenai masalah-masalah pokok.[30]

MoU sebagaimana tersebut di atas merupakan lembaga hukum yang berasal dari tradisi Anglo Saxon. Di tinjau secara keilmuan hukum MoU merupakan janji untuk mengadakan perjanjian, dengan demikian pada dasarnya belum mempunyai kekuatan mengikat layaknya perjanjian itu sendiri. Penggunaan istilah MoU dalam tradisi Kontinental dengan mengkaitkan dengan teori kebenaran lebih masuk ke dalam teori kebenaran pragmatis karena didasarkan pada manfaat secara praktis dan kehadirannya dirasakan mendatangkan manfaat.

Penggunaan MoU dalam praktik hukum di masyarakat sebagaimana disinggung di atas seringkali tidak tepat, paling tidak penggunaannya oleh masyarakat awam. Masyarakat kebanyakan masih menyamakan MoU dengan perjanjian, sehingga dalam hal pihak lain tidak melaksanakan apa yang termuat dalam MoU maka padanya seakan-akan dapat menggugat pihak lain tersebut. Kalau ditinjau secara isi materi muatan yang ada di MoU seringkali secara substansial sudah merupakan perjanjian, namun dalam kenyataannya yang dipakai adalah istilah MoU. Adanya berpotensi menimbulkan dampak yuridis yang berkepanjangan, sehingga bisa menimbulkan ketidakadilan dalam masyarakat.

Kedua teori fiksi hukum. Fiksi menurut kamus bahasa Indonesia adalah cerita rekaan, hasil khayalan pengarang.[31] Sedangkan hukum diartikan sebagai peraturan resmi yang menjadi pengatur dan dikuatkan oleh pemerintah, undang-undang, peraturan, patokan (kaidah ketentuan); mengenai peristiwa alam yang tertentu; keputusan yang dijatuhkan hakim kepada terdakwa.[32]

Menurut kamus hukum fiksi atau dalam bahasa aslinya (bahasa Latin) Fictio adalah angan-angan, bentuk hukum, kontruksi hukum, bangunan hukum, di samping peraturan undang-undang.[33]

Van Apeldoorn memberi pendapat fictie atau fiksi adalah bahwa kita menerima sesuatu yang tidak benar sebagai sesuatu hal yang benar. Atau dengan kata lain kita menerima apa yang sebenarnya tidak ada, sebagai ada atau yang sebenarnya ada sebagai tidak ada.[34]

Namun sebenarnya bahwa fiksi perundang-undangan itu bukan fiksi sebenarnya, melainkan dirumuskan belaka sebagai fiksi. Fiksi dipahami dari sudut hasrat pembentuk undang-undang untuk memperoleh perumusan yang singkat, yaitu sebagai alat penolong untuk menghemat jumlah peraturan dan pengertian.[35]

Fiksi hukum yang dikenal adalah “setiap orang dianggap tahu akan undang-undang”.[36] Hal ini didasarkan pada suatu alasan, bahwa manusia mempunyai kepentingan sejak lahir sampai mati. Setiap kepentingan manusia tersebut selalu diancam oleh bahaya di sekelilingnya. Oleh karena itu manusia memerlukan perlindungan kepentingan, yang dipenuhi oleh berbagai kaidah sosial yang salah satunya adalah kaidah hukum. Karena kaidah hukum melindungi kepentingan manusia, maka harus dipatuhi manusia lainnya. Sehingga timbul kesadaran untuk mematuhi peraturan hukum, supaya kepentingannya sendiri terlindungi. Dengan demikian ketidaktahuan akan undang-undang tidak merupakan alasan pemaaf atau “ignorantia legis excusat neminem”.

Jadi fiksi perundang-undangan itu sebenarnya bukanlah tidak dapat dibuang. Akan tetapi bahwa ia sering dipakai terutama dapat dipahami dari sudut hasrat pembentuk undang-undang untuk memperoleh perumusan yang singkat. Adakalanya juga pembentuk undang-undang memakai fiksi, padahal pemakaian fiksi itu dapat dihindarinya. Hukum yang tugasnya mengatur kehidupan masyarakat sebenarnya tidak boleh dijelmakan dalam peraturan-peraturan yang dalamperumusannya jelas bertentangan dengan kenyataan. Adalah kewajiban ajaran hukum untuk sebanyak mungkin mengeluarkan fiksi dari perundang-undangan, dengan kata lain, mempersiapkan peraturan-peraturan yang sederhana.

Sebenarnya pemakaian fiksi hukum dalam perundang-undangan dan dalam ajaran hukum menyebabkan kerugian yang besar. Pemakaian fiksi hukum tersebut mengakibatkan kebiasaan para ahli hukum memakai fiksi dengan tidak semestinya. Karena dalam Undang-undang dan dalam literatur yang bersifat ilmu pengetahuan hukum, ahli hukum seringkali mempergunakan fiksi. Akhirnya ahli hukum, karena terbiasa dengan penggunaan fiksi hukum tersebut, menjadi sangat lancar mempergunakannya. Itulah sebabnya, fiksi hukum memegang peranan juga dalam pengadilan dan terkadang memegang peran yang sangat berbahaya. Untuk hakim, fiksi adalah alat yang memikat, karena fiksi memberikan hakim kemampuan untuk mencapai suatu keadaan yang diinginkannya. Dengan fiksi, kita dapat menghitamkan yang putih maupun sebaliknya. Hal itu membahayakan dalam proses menemukan kebenaran dan keadilan. Misalnya dalam persangkaan. Persangkaan harus dipisahkan dari fiksi. Fiksi adalah ketidak benaran suatu ciptaan saja, persangkaan mungkin benar, mungkin tidak. Peranan yang penting yang dipegang oleh persangkaan ini tidak akan ditinjau lebih lanjut.

Kebenaran penggunaan fiksi hukum patut diragukan jika ditinjau dari teori-teori kebenaran yang ada. Secara logis adanya juga tidak dapat dibenarkan secara ilmiah, karena kenyataannya justru sebaliknya walaupun peraturan hukum dimaksud dituangkan dalam Lembaran Negara. Aparat penegak hukum pun mungkin banyak juga yang tidak mengerti mengenai peraturan-peraturan hukum tertentu, karena jumlahnya yang sangat banyak.

Ditinjau dari teori keadilan penggunaan fiksi hukum berpeluang menimbulkan ketidakadilan, karena orang yang benar-benar tidak mengetahui peraturannya dikenai hukuman yang sama dengan orang yang tahu. Jika ditinjau dari aspek kepastian hukum fiksi hukum ini justru diperlukan sehingga tidak ada peluang seseorang berkelit dari jerat hukum.

Ketiga, asas lex specialis derogat legi generali artinya peraturan yang bersifat umum dikesampingkan oleh peraturan yang bersifat khusus dengan syarat peraturan dimaksud berada dalam hierarki yang sejajar. Maksud dari asas ini adalah bahwa terhadap peristiwa khusus wajib diperlakukan undang-undang yang menyebut peristiwa itu, walaupun untuk peristiwa khusus tersebut dapat pula diperlakukan undang-undang yang menyebut peristiwa yang lebih luas atau lebih umum yang dapat juga mencakup peristiwa khusus tersebut.[37]

Contoh pengakuan terhadap asas lex specialis derogat legi generali dalam bidang hukum pidana materiil dapat dilihat dalam Pasal 103 KUHP yang menyatakan: “Ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VII buku ini berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan yang lain diancam pidana, kecuali jika oleh undang-undang itu ditentukan lain”. Sedangkan dalam bidang hukum pidana formil, namapak di dalam isi Pasal 284 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ” (2) Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi. Memang benar bahwa sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) butir i Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, ”(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang: mengadakan penghentian penyidikan. Sebagai alasan dari penghentian penyidikan perhatikan isi

Pasal 109 ayat (2) yang menyatakan: ”(2) Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penghentian penyidikan demi hukum (Pasal 76; 77; 78 dan 79 KUHP), maka penyidik memberitahukan kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya. Memang benar sesuai dengan Pasal 14 huruf h dinyatakan bahwa Penuntut umum mempunyai wewenang: h. Menutup perkara demi kepentingan hukum Sebagai alasan dari penghentian penuntutan perhatikan isi Pasal 140 ayat (2) a. Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penunutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum penuntutan umum menuangkan dalam surat ketetapan.

Dari dua produk hukum tersebut diberikan dasar hukum untuk adanya pengaturan yang berbeda terhadap apa yang telah diatur dalam undang-undang generalisnya. Dapatlah disebut mulai dari Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sampai dengan Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang (dalam posisi Lex specialis), kesemuanya mempunyai materi hukum pidana materiil dan hukum pidana formil) yang berbeda dengan apa yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (legi generali).

Satu lagi contoh pertentangan antara undang-undang yang tidak dapat diselesaikan hanya dengan mengembalikan kepada asas hukum lex speciali derogat legi generali yakni antara Undang-Undang Pokok Agraria dengan Undang-Undang Penanaman Modal. Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, dalam salah satu pasalnya terdapat pertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria yakni pada pasal yang mengatur tentang pemberian hak atas tanah dengan jangka waktu yang lebih lama (dalam UUPM) dibandingkan dengan jangka waktu yang diatur oleh UUPA. Padahal sudah jelas, bahwa Undang-Undang Pokok Agraria, konsepsi awalnya adalah Undang-Undang Payung (umbrella act) atau Undang-undang pokok. Undang-undang ini juga bersifat sektoral, dimana terdapat dua sektor yang saling bertentangan, yakni sektor pertanahan (Badan Pertanahan Nasional) dan sektor Investasi (Badan Koordinasi Penanaman Modal). Pengaturan masing-masing undang-undang juga tidak membuka kemungkinan untuk merujuk pada suatu aturan yang lebih khusus. Sehingga pasal yang saling bertentangan tersebut menjadi tidak dapat berlaku (invalid).

Berdasarkan pada kondisi ini tampak bahwa peristilahan hukum berupa asas hukum lex specialis derogat legi generali tidak implementatif ketika diberlakukan. Munculnya Undang-undang Penanaman Modal tersebut untuk alasan praktis dapat dibenarkan, yaitu untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif sehingga arus investasi akan masuk yang pada akhirnya ditujukan untuk kepentingan pembangunan.

Fenomena ini jika ditinjau dari teori keadilan berpotensi menimbulkan kondisi tidak adil, karena kebijakan yang tadinya ditujukan untuk kepentingan rakyat dalam realitas praktis justru hanya menguntungkan investor. Hanya investor dengan capital kuatlah yang akan melakukan eksploitasi terhadap kekayaan bangsa ini.

D. PENUTUP

1. Kesimpulan

Berdasarkan pada pembahasan mengenai peristilahan hukum dalam bahasa hukum Indoensia tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

a. Pemaknaan peristilahan hukum dalam praktik di masyarakat ternyata tidak selalu tepat, bahkan ada beberapa istilah yang penggunaannya sama sekalii tidak tepat sehingga makna sesungguhnya menjadi hilang sama sekali.

b. Dari sisi teori kebenaran dan keadilan beberapa peristilahan hukum ada yang dapat dibenarkan, namun banyak yang tidak dapat dibenarkan karena sangat kontekstual tergantung dari sudut mana kita memandangnya dan standar apa yang kita pakai untuk mengukur kebenarannya.

2. Saran

Beberapa saran yang dapat disampaikan adalah perlu adanya perhatian dari pemerintah untuk meluruskan istilah yang dimaknai salah dalam praktik, misalnya dengan membuat undang-undang sebagai pedoman. Di samping itu peran serta masyarakat juga masih diperlukan, misalnya dari kalangan akademisi dan profesional yang memang mengetahui makna istilah tersebut dengan tepat untuk memberikan sosialisasi kepada masyarakat. Diharapkan pula kalangan praktisi tidak turut melestarikan penggunaan istilah yang salah kaprah, hanya karena dunia praktis sudah terlanjur terus menerus menggunakan suatu istilah dengan tidak tepat. Justru harus ada upaya untuk mendobrak salah kaprah tersebut sehingga masyarakat tidak terjebak dalam kesalahan dan bahkan tidak mengetahui bahwa suatu istilah itu dimaknai dengan salah.

DAFTAR PUSTAKA

Apeldoorn, L.J. Van. 2001. Pengantar Ilmu Hukum. Cetakan kedua puluh sembilan. Jakarta: Pradnya Paramita.

Black, Henry Campbell. 1990. Black’s Law Dictionary, Sixth Edition. USA: West Publishing Company.

Dahlan, M. Shodiq. 1989. Hukum Alam dan Keadilan. Bandung: Remaja Karya.

Fajri, EM Zul, dkk. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Difa Publisher.

Fuady, Munir. 1997. Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktik. Buku Keempat. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Hadikusuma, Hilman. 1992. Bahasa Hukum Indonesia, Bandung : Penerbit Alumni. Sudjito. 2007. Dinamika Bahasa Hukum. Makalah yang disampaikan pada diskusi bulanan dosen-dosen Fakultas Hukum UGM, 15 Desember 2007 di Debating Room FH UGM, Bulaksumur. Yogyakarta.

Hamzah, Andi. 1986.Kamus Hukum Jakarta: Ghalia Indonesia.

Harkrisnowo,Harkristuti. 2004. Bahasa Indonesia Sebagai Sarana Pengembangan Hukum Nasional. www.khn.go.id. Tanggal akses 23 Februari 2008.

Huijbers, Theo. 1995. Filsafat Hukum. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Mahadi, Sabarudin. 1979. Pembinaan Bahasa Hukum Indonesia, Bandung : Rosda Offset.

Mertokusumo, Sudikno R.M. (b). Teori dan Politik Hukum. Bahan Ajar Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada.

Mertokusumo, Sudikno. (a). 1999. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Yogyakarta: Liberty.

Mustansyir, Rizal. Dkk. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Pudjosewojo, Kusumadi. 1997. Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia. Cetakan kedelapan. Jakarta: Sinar Grafika.

Purbacaraka, Purnadi, dkk. 1979. Perundang-undangan dan Yurisprudensi, Bandung: Alumni.

Rajagukguk, Erman. 1994. Kontrak Dagang Internasional dalam Praktik di Indonesia. Jakarta: Universitas Inonesia.

Salim HS, H. (a). 2007. Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding (MoU). Jakarta: Sinar Grafika.

Salim HS, H. (b). 2006. Hukum Kontrak. Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Cetakan ketiga. Jakarta: Sinar Grafika.

Siregar, Mustafa. 2003. Bahasa Hukum. Artikel pada Jurnal Compendium Ilmu Hukum dan Kenotariatan, Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan USU. Medan.

Wijaya, I. G. Ray. 2003. Merancang Suatu Kontrak (Contract Drafting) Teori dan Praktik. Edisi Revisi. Jakarta: Kasaint Blanc.



[1]Pudjosewojo, Kusumadi. 1997. Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia. Cetakan kedelapan. Jakarta: Sinar Grafika. Hal 52.

[2]Siregar, Mustafa. 2003. Bahasa Hukum. Artikel pada Jurnal Compendium Ilmu Hukum dan Kenotariatan, Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan USU. Medan. Hal 5.

[3]Mustansyir, Rizal. Dkk. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal 171-172.

[4]Siregar, Mustafa. Op. Cit. Hal 1.

[5] Hadikusuma, Hilman. 1992. Bahasa Hukum Indonesia, Bandung : Penerbit Alumni. Hal 8.

[6] Sudjito. 2007. Dinamika Bahasa Hukum. Makalah yang disampaikan pada diskusi bulanan dosen-dosen Fakultas Hukum UGM, 15 Desember 2007 di Debating Room FH UGM, Bulaksumur. Yogyakarta. Hal 1.

[7] Keraf, Gorys dalam Mustafa Siregar. Op.cit. Hal 3.

[8] Moeljono, Anton M. dalam Hilman Hadikusuma. Op Cit. Hal 8-9.

[9] Harkrisnowo,Harkristuti. 2004. Bahasa Indonesia Sebagai Sarana Pengembangan Hukum Nasional. www.khn.go.id. Tanggal akses 23 Februari 2008.

[10] Mahadi, Sabarudin. 1979. Pembinaan Bahasa Hukum Indonesia, Bandung : Rosda Offset. Hal 50.

[11] Sudjito, Op. Cit. Hal 2.

[12] Ibid. Hal 3.

[13] Hadikusuma, Hilman. Op. Cit. Hal 194.

[14]Ibid. Hal 3.

[15] Siregar, Mustafa. Op. Cit. Hal 12.

[16] Semantik adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki makna atau arti kata-kata hukum.

[17] Ibid. Hal 23-25.

[18] Huijbers, Theo. 1995. Filsafat Hukum. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Hal 64.

[19] Dahlan, M. Shodiq. 1989. Hukum Alam dan Keadilan. Bandung: Remaja Karya. Hal 25.

[20] Mertokusumo, Sudikno. (a). 1999. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Yogyakarta: Liberty.Hal 72

[21] Dahlan, M. Shodiq. Op. Cit. Hal 26.

[22] Black, Henry Campbell. 1990. Black’s Law Dictionary, Sixth Edition. USA: West Publishing Company.

[23] Salim HS, H. (a). 2007. Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding (MoU). Jakarta: Sinar Grafika. Hlm 46.

[24] Fuady, Munir. 1997. Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktik. Buku Keempat. Bandung: Citra Aditya Bakti. Hlm 91.

[25]Rajagukguk, Erman. 1994. Kontrak Dagang Internasional dalam Praktik di Indonesia. Jakarta: Universitas Inonesia. Hlm 4.

[26] Ibid. Hlm 47.

[27] Salim HS, H. (b). 2006. Hukum Kontrak. Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Cetakan ketiga. Jakarta: Sinar Grafika. Hlm 124.

[28] Salim HS, H. (a). Op. Cit. Hlm 48.

[29] Fuady, Munir. Op. Cit. Hlm 91-92.

[30] Wijaya, I. G. Ray. 2003. Merancang Suatu Kontrak (Contract Drafting) Teori dan Praktik. Edisi Revisi. Jakarta: Kasaint Blanc. Hlm 102.

[31] Fajri, EM Zul, dkk. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Difa Publisher.

[32] Ibid.

[33] Hamzah, Andi. 1986.Kamus Hukum Jakarta: Ghalia Indonesia.

[34] Apeldoorn, L.J. Van. 2001. Pengantar Ilmu Hukum. Cetakan kedua puluh sembilan. Jakarta: Pradnya Paramita. Hlm 407.

[35] Ibid. Hlm 408-410.

[36] Mertokusumo, Sudikno R.M. (b). Teori dan Politik Hukum. Bahan Ajar Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada.

[37] Purbacaraka, Purnadi, dkk. 1979. Perundang-undangan dan Yurisprudensi, Bandung: Alumni. Hal 16-17.